Minggu, Oktober 30, 2016

Onya's

[KETIGA]

 “Ah ternyata dia.”

Nama di name tag yang menggantung di dada kanannya tidak bisa berbohong. Dan juga topografi wajah yang dia punya saat itu adalah yang sebelumnya sudah cukup familiar, tidak berubah jauh dari beberapa tahun yang lalu. Sayangnya ekspresi yang dia tampilkan bukanlah ekspresi yang dulu biasa kusaksikan dengan cara mencuri-curi pandang.

Suaranya tidak banyak berubah, masih lantang dan kencang. Ditanyainya kepadaku beberapa pertanyaan, seperti sedang menginterogasi bahwa aku baru saja terlibat tindak pidana kejahatan. Sayang saja Onya tidak tahu, bahwa aku sudah tahu apa yang sedang dia perbuat bersama teman-temannya. Dan pertanyaan-pertanyaan bernada tegasnya sama sekali tidak membuatku takut sebagai seorang siswa baru yang tengah mengikuti MOS.

“Sudahlah, ini hari ulang tahunku. Aku sudah tahu apa yang kalian perbuat.”

Aku menggerutu dalam hati. Tapi Onya dan kawan-kawannya terus menghajarku dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Memaksaku untuk merasa bersalah dan mengaku. Tapi entah mengakui apa. Bingung bercampur kesal aku dibuat mereka.

“Ah, kalian basi.”

Sebenarnya aku ingin sekali memberontak. Bisa saja sebenarnya, karena untuk urusan ini aku sudah berpengalaman. Terlahir di bulan Juli memang menjadi sesuatu yang mengharuskanku untuk menjadi tumbal karena MOS dilaksanakan pada bulan itu pada tahun ajaran baru.

Semakin siang, semakin tinggi matahari, semakin gatal pula mereka memberendeliku dengan pertanyaan-pertanyaan sampah. Memaksakan keadaan bahwa aku harus bersalah dengan segala kepatuhan yang kuikuti selama MOS. Para senior itu tidak terlalu pintar untuk urusan ini. Cara mereka me manage keadaaan sungguh buruk, memalukan. 

Onya berdiri tepat di depanku. Setiap kali bicara, wajahnya maju beberapa sentimeter hingga terasa nafasnya meniup pipi, mulut, dan kadang-kadang anginnya terasa mampir di keningku. Sedikit saja kumajukan kepalaku, pastilah batang hidungku akan mendarat di wajahnya, seolah aku sedang menciumnya. Sayang aku tidak seberani itu. Dan lagi pula aku tidak ingin mencari masalah, aku tidak berfikir akan membuat namaku tenar di sekolah baru ini, apalagi dengan cara menciumi senior yang sedang marah. Itu tidak sopan sama sekali.

Hari itu entah siapa yang lebih kesal. Aku tidak bereaksi atas pertanyaan, amarah, dan berbagai kejahilan mereka mengerjaiku. Hari itu memang bukan hari baikku. Seharian penuh aku dikelilingi mereka. Senior-senior bobrok yang tidak mengerti akan esensi sebenarnya dari kegiatan MOS. Hanya berlagak dan seolah mereka adalah yang berkuasa. Dan yang menjadi perhatianku adalah Onya, karena dia yang satu-satunya kukenal. Tapi sebaliknya, Onya justru tidak memperlihatkan bahwa dia pernah mengenalku. Lupa barangkali. Tapi beberapa kali kutangkap Onya tersenyum dengan sudut bibirnya, dan itu ditujukan padaku. Kutaksir Onya memahami apa yang aku pikirkan. Dan dia sepertinya juga punya firasat lain bahwasanya menghardik adik kelas yang sebelumnya pernah dia kenali adalah sesuatu yang agak menggelikan. Onya tidaklah benar-benar lupa. Seolah dari senyum di ujung bibirnya ia mengisyaratkan sesuatu, menyahut suara yang kuteriakkan dalam hati.


“Gi, ikuti saja aturan mainnya. That’s times is ours, not you.”

2 komentar: