[KETIGA]
“Ah
ternyata dia.”
Nama di name tag yang menggantung di dada
kanannya tidak bisa berbohong. Dan juga topografi wajah yang dia punya saat itu
adalah yang sebelumnya sudah cukup familiar, tidak berubah jauh dari beberapa
tahun yang lalu. Sayangnya ekspresi yang dia tampilkan bukanlah ekspresi yang
dulu biasa kusaksikan dengan cara mencuri-curi pandang.
Suaranya
tidak banyak berubah, masih lantang dan kencang. Ditanyainya kepadaku beberapa
pertanyaan, seperti sedang menginterogasi bahwa aku baru saja terlibat tindak
pidana kejahatan. Sayang saja Onya tidak tahu, bahwa aku sudah tahu apa yang
sedang dia perbuat bersama teman-temannya. Dan pertanyaan-pertanyaan bernada
tegasnya sama sekali tidak membuatku takut sebagai seorang siswa baru yang
tengah mengikuti MOS.
“Sudahlah,
ini hari ulang tahunku. Aku sudah tahu apa yang kalian perbuat.”
Aku
menggerutu dalam hati. Tapi Onya dan kawan-kawannya terus menghajarku dengan
pertanyaan-pertanyaan menyudutkan. Memaksaku untuk merasa bersalah dan mengaku.
Tapi entah mengakui apa. Bingung bercampur kesal aku dibuat mereka.
“Ah,
kalian basi.”
Sebenarnya
aku ingin sekali memberontak. Bisa saja sebenarnya, karena untuk urusan ini aku
sudah berpengalaman. Terlahir di bulan Juli memang menjadi sesuatu yang
mengharuskanku untuk menjadi tumbal karena MOS dilaksanakan pada bulan itu pada
tahun ajaran baru.
Semakin
siang, semakin tinggi matahari, semakin gatal pula mereka memberendeliku dengan
pertanyaan-pertanyaan sampah. Memaksakan keadaan bahwa aku harus bersalah
dengan segala kepatuhan yang kuikuti selama MOS. Para senior itu tidak terlalu
pintar untuk urusan ini. Cara mereka me manage
keadaaan sungguh buruk, memalukan.
Onya berdiri tepat di depanku. Setiap
kali bicara, wajahnya maju beberapa sentimeter hingga terasa nafasnya meniup
pipi, mulut, dan kadang-kadang anginnya terasa mampir di keningku. Sedikit saja
kumajukan kepalaku, pastilah batang hidungku akan mendarat di wajahnya, seolah
aku sedang menciumnya. Sayang aku tidak seberani itu. Dan lagi pula aku tidak
ingin mencari masalah, aku tidak berfikir akan membuat namaku tenar di sekolah
baru ini, apalagi dengan cara menciumi senior yang sedang marah. Itu tidak
sopan sama sekali.
Hari itu
entah siapa yang lebih kesal. Aku tidak bereaksi atas pertanyaan, amarah, dan
berbagai kejahilan mereka mengerjaiku. Hari itu memang bukan hari baikku.
Seharian penuh aku dikelilingi mereka. Senior-senior bobrok yang tidak mengerti
akan esensi sebenarnya dari kegiatan MOS. Hanya berlagak dan seolah mereka
adalah yang berkuasa. Dan yang menjadi perhatianku adalah Onya, karena dia yang
satu-satunya kukenal. Tapi sebaliknya, Onya justru tidak memperlihatkan bahwa
dia pernah mengenalku. Lupa barangkali. Tapi beberapa kali kutangkap Onya
tersenyum dengan sudut bibirnya, dan itu ditujukan padaku. Kutaksir Onya
memahami apa yang aku pikirkan. Dan dia sepertinya juga punya firasat lain
bahwasanya menghardik adik kelas yang sebelumnya pernah dia kenali adalah
sesuatu yang agak menggelikan. Onya tidaklah benar-benar lupa. Seolah dari senyum di ujung bibirnya ia mengisyaratkan sesuatu, menyahut suara yang kuteriakkan dalam hati.
“Gi, ikuti
saja aturan mainnya. That’s times is ours, not you.”
Lanjuuttttt
BalasHapuswokeeehhh
BalasHapus