Selasa, Oktober 11, 2016

Dina di Kota Kecil

Dari kota besar penyangga ibukota, kini menetap lama di pedalaman sumatera. Suasana berbeda, hawa berubah, dan bahasa tidak lagi sama. Beradaptasi sudah bukan lagi hal baru. Berkali-kali sudah kulalui masa yang demikian. Mengerti cara hidup orang sekitar menjadi sesuatu yang sedikit banyaknya sudah ada yang dipahami.

Kupikir menyedihkan awalnya. Meski berada diantara pejabat-pejabat perusahaan, tempat yang kini kutinggali tidak lebih dari sebuah perkampungan yang dibuat elit karena banyaknya fasilitas kantor. Antar jemput mobil operasional, atau gedung olahraga yang lengkap, menjadikannya pedalaman sumatera yang lebih bersinar dari yang lain. Hanya itu saja, lain daripadanya adalah hutan yang masih belum terjamah. Kera bergelayut di sana sini, siamang berlari diantara dahan-dahan, dan babi huta bebas berkeliaran di jalanan aspal. 

Sebagai orang baru, berkenalan dengan tetangga adalah hal yang wajib dilakukan. Dan itu kulakukan -mau tidak mau. Tidak ada yang istimewa. 2 minggu berlalu dengan keadaan yang biasa-biasa saja. Agak jenuh namun fasilitas yang cukup lengkap membantu menyegarkan suasana. Satu yang menyenangkan hari ini, saat kampus elit di Padang libur panjang. Ada yang tidak pernah terlihat sebelumnya tiba-tiba muncul di balik pintu di rumah seberang sana. Putih dan berambut sebahu, bercelana pendek ketat sebetis, berbaju kaos 3/4 lengan. 

"Itu anak Pak Darmi yang kuliah di Farmasi." Ibu penjual gorengan memberitahuku.

"Oii, Gi. Ayo sini sebentar." 

Itu panggilan yang sangat kuharapkan. Pak Darmi muncul di balik mobil hitam di garasi. Bergegas aku ke sana sembari mengunyah bakwan secepat mungkin agar segela tertelan. Kuhapus sisa minyak yang menempel dengan telapak tangan.

"Ini yang saya ceritakan tempo hari. Kebetulan sedang libur."

Kami berjabat tangan.

"Egi." Kataku saaat telapak tangan kami beradu saling berjabat.

"Dina." Tersenyum dia menyebutkan namanya.

Cantik dan manis sekali senyumnya. Turunan dari bapaknya yang ganteng dan berkarisma. Bukan hal yang terlalu sulit mengajaknya berkenalan lebih dari sekedar nama. Dia terbuka dan friendly. Setidaknya selama sebulan ini aku akan terus melihatnya, menyapa Dina lalu dia tersenyum manis membalasnya.

"Gi." teriaknya. Aku baru saja dari warung Wak Aji membeli kopi.

Sebelum aku balas, dia segera beranjak menghampiri. 4 detik saja dia sudah tiba di depanku lalu menawarkan sebuah ajakan.

"Nonton yuk."

Diacungkannya 2 tiket yang bagiku sebenarnya tidak begitu menarik. Bukan hobiku keluar masuk bioskop. Tapi berhubung Dina yang menawari, apalah dayaku untuk menolak. Tidak lagi terpikir kalau aku bukan seorang yang suka duduk di kursi empuk menatap layar yang besar sekali, entah berapa ukuran tivinya.

"Baru tau, di sini ada bioskop?"

Segera aku terheran, di tempat seperti ini, di pemukiman dalam hutan ada bioskop? Seberapa luas sebenarnya tempat ini? Memang aku belum berkeliling. Tetapi dengan apa yang diperlihatkan Dina, dapat kutebak bahwa tempat ini tidaklah sekedar pemukiman yang dipagari hutan lebat. Melainkan kota kecil dengan fasilitas lengkap dan mumpuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar