[KELIMA]
Siapa
sangka, anak pendiam yang tidak pintar-pintar amat, tidak piawai dalam bergaul,
dan jarang terlihat di hari biasa tiba-tiba berkabar bahwa dia sedang berada di
ujung timur pulau jawa melanjutkan kuliah. Itulah aku. Dalam diam aku masih
memegang kuat cita-cita yang dari SMP hanya kepada Tuhan saja kuceritakan.
Terlalu malu aku untuk mengumbarnya, karena berasal dari keluarga yang tidak
begitu mentereng ekonominya, dan tidak pula bintang di kelas karena berotak
cemerlang.
Sedikit
aku berbagi, sebelum membahas Onya dalam versi terbaru, bahwa termujudnya
cita-citaku untuk kuliah di salah satu kampus elit di Jawa adalah karena aku
percaya pada kemampuanku. Bukan takabur, melainkan aku yakin bahwa Tuhan sudah
menyelipkan sesuatu dalam diriku. Tentu saja keyakinan yang aku bangun tetap
diiringi dengan doa dan usaha yang keras bukan main.
Tahun
ini, maksudku tahun depan, semoga menjadi tahun terakhirku menjadi mahasiswa
tanpa beasiswa di kampus ini. Amin. Secepatnya aku ingin lulus supaya orang
tuaku tidak lagi diharuskan membiayai kuliahku yang mahalnya di luar dugaan.
Bukannya disibukkan dengan tugas
akhir, di tahun-tahun akhir kuliah aku malah disambungkan lagi dengan Onya
setelah tidak pernah berjumpa dan berkomunikasi dalam waktu yang lama. Aku
tidak pernah melihat Onya semenjak dia lulus SMA, tidak juga pernah tahu kabar
tentang apa yang dilakukannya setelah lulus, bahkan aku tidak ingat bahwa
pernah mengenalnya. Hidup yang terlalu kompleks membuat ingatanku menjadi tak
begitu baik. Apalagi Onya bukanlah sesuatu yang begitu penting, hanya kawan
lama (baca: pernah sekedar kenal) yang sempat menjadi kawan les zaman SD hingga
SMP, lalu menjadi kakak kelas di masa SMA, kemudian hilang begitu saja setelah
lulus.
Perkembangan
Sosial media dewasa ini memberikan jalan untuk aku bicara lagi dengan kawan
lama, bernostalgia dengan apa yang pernah terjadi di era usia belasan tahunku.
Dengan Onya salah satunya, yang ternyata juga sudah lupa bahwa aku pernah
mampir sebentar di jalan kehidupannya.
Hari itu
aku merasakan sesuatu yang umumnya pernah dirasakan mahasiswa perantauan, homesick bahasa kerennya. Setahun lebih
tidak pulang membuat ingatanku ingin terus-terusan terbang jauh ke kampung
halaman. Kampungku di pedalaman Sumatera sana. Diantara lembah dan bukit yang
membentuk topografi keindahan alam secara alamiah. Dikelilingi hutan hujan
tropis yang dingin hawanya. Tenteram bukan luar biasa.
Tidak
ingat betul bagaimana mulanya aku mengetik nama-nama yang sekiranya pernah ada
di sana saat aku belum meninggalkan kampung halaman. Yang pasti aku pernah
menulis nama Onya di kolom pencarian. Tidak ingat pula alasan apa yang menjadi
penyebab tiba-tiba jempolku menekan tombol-tombol menyusun rangkaian huruf
menjadi nama lengkap Onya.
Dari mana pula aku ingat seorang
bernama Onya.
Tidak
ingat bukan berarti aku lupa semuanya. Hanya saja mungkin tercecer entah kemana
sehingga jangkauan ingatanku melewatkan beberapa hal. Onya adalah salah
satunya.
“Anak
Lintau?”
Begitu
pertama kali tulisan Onya mampir dalam kolom chatku, yang akhirnya berlanjut
hingga detik ini dengan pembahasan ngalor ngidul tidak berjung tidak
berpangkal. Mulai dari cerita zaman les, carita ketika SMA, kegiatan saat ini
dan kemaren, hingga rencana ke depan. Dari sekian banyak cerita-cerita yang
Onya dan aku kicaukan, yang paling menjadi ingatan adalah tentang rencana hangout saat nanti aku mampir ke Padang,
kota tempat Onya mendekam di akhir-akhir kuliahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar