Pernah aku menulis tentang Malang, bahwa kota di pegunungan itu adalah tanah keduaku. Bukan saja karena hawanya yang sejuk, atau karena biaya hidup yang relatif murah, atau karena keramahan warga dan kefanatikan Aremania-nya. Melainkan ada satu lagi alasan yang membuat kebetahanku tinggal di Malang naik beberapa persen. Seorang 'Aremanita' yang bahkan tidak pernah menggunakan istilah itu untuk menyebut dirinya, juga tidak pernah sekalipun menginjak stadion Kanjuruhan atau Gajayana saat Arema berlaga. Seorang anak tunggal dari keluarga berada yang mendiami sudut kota, dialah penyebabnya.
Kepadanya aku pernah jatuh cinta, entahlah untuk saat ini. Semenjak tidak lagi pernah bertemu, seolah kami adalah dua manusia yang sebelumnya tidak pernah saling bertegur sapa. Sulit menjelaskan apa yang kini terasa, aku tidak ahli dalam memahami ingin hatiku sendiri, tidak begitu familiar aku dengan istilah-istilah tentang perasaan. Yang kupahami hanyalah, ada bahagia yang hinggap saat potretnya tergambar di layar gadget yang kugenggam, dan aku ingin sekali memandangnya dalam waktu yang lama.
Sekali waktu, saat angin segar masih menyertai, beberapa waktu yang lampau, sempat aku dan dia mengekspresikan sebuah senyum yang diabadikan melalui jepretan kamera. Itu satu-satunya momen berdua yang dapat kukenang. Yang dapat kusaksikan secara nyata, yang menjadi bukti bahwa ceritaku tidak sekedar fiktif belaka penghibur rasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar