Jumat, Desember 04, 2015

Kawan Lama

Bagi kalian yang berasal dari pelosok nusantara sepertiku, apa yang kalian pikirkan tentang Jakarta? Sebuah kota yang hebat dengan glamour tingkat tinggi dan kejahatan yang juga meraja-lela bukan? Jika demikian halnya, kita memiliki pandangan yang relatif sama. Namun jika tidak, berarti kalian lebih mengenal Jakarta daripada aku. Pejabat tinggi, pengusaha kaya, rakyat menengah hingga pengemis bertebaran di sana. Beberapa tempat telah aku kunjungi dan tinggal di di kota metropolitan itu selama beberapa hari.

Pertama kalinya, aku menempati perumahan mewah seharga ratusan juta Rupiah di daerah Bekasi Barat (Bekasi sering kali di sebut bagian dari Jakarta walaupun sudah berada di provinsi yang berbeda). Itu 3 tahun yang lalu. Aku menginap di sana selama 3 hari. Belum lama ini aku juga singgah beberapa hari di kawasan elit Jakarta Selatan sekedar numpang tinggal sebelum melanjutkan perjalanan 3 hari kemudian menuju Malang. Lalu di bulan lain, aku juga pernah mampir ke rumah seorang Khatolik yang berbaik hati kepadaku. 2 hari aku tinggal di rumahnya yang terletak tidak jauh dari LP Cipinang. Rumah tipe menengah miliknya terletak di kawasan yang terbilang padat. Selanjutnya di kesempatan lain aku juga pernah tinggal di kawasan padat penduduk di Jakarta Timur. Tidak jauh dari kelurahan yang sempat menjadi trending topik di tv swasta dan nasional karena relokasi warga yang tinggal di sana oleh gubernurnya.

Di sini dan saat ini, aku tidak bercerita atau menjelaskan detailnya Jakarta karena aku sama sekali bukan penduduk asli atau pernah tinggal lama di sana. Salah-salah kata aku bisa di demo dan di bacok warga Jakarta dengan golok mereka. Ada seseorang yang ingin aku ceritakan dan dia kini tinggal di Jakarta. Dia adalah kawan SD ku dan semenjak pindah sekolah saat naik ke kelas 4 dulu, aku tidak pernah lagi melihatnya.

9 tahun kemudian, tepatnya di liburan kemaren dia kembali pulang. Sembilan tahun di Jakarta membuat lidahnya kini tidak bisa lagi menggunakan bahasa ibu yang dulu kami gunakan untuk berkomunikasi. Dan kalian tau? Ternyata dia tidak mengenaliku saat kami bertemu (sepertinya).

Sebut saja namanya Lina (aku ambil dari salah satu kata dalam nama panjangnya). Rumah kami berjarak sekitar 200 meter. Dan satu hal yang pasti tentunya rumah dia (baca : rumah orangtuanya) jauh lebih bagus dari rumahku karena ayahnya adalah pengusaha di Jakarta. Sementara ayahku hanyalah orang biasa yang menggantungkan penghasilan utama dari panen buah kakao.

Yah, meskipun aku sudah tidak lagi dia kenali (sebenarnya masih ingat, namun karena lama tak bertemu membuat aku perlahan hilang dalam memorinya) tetapi aku masih ingat sangat jelas tentang dia. Yang berbeda sekarang tubuhnya lebih melar dibandingkan 9 tahun lalu. Sekali waktu ketika itu, aku dan Lina tidak sengaja bertemu di warung nenek Sari yang dulu menjadi favorit anak SD untuk menghabiskan jatah uang jajan sehari.

Aku melihatnya dan dia tentu saja juga melihatku. Beberapa detik. Dia tidak tersenyum sama sekali (sepertinya sedang berpikir keras untuk mengenali wajahku yang semakin abstrak) tentu aku juga tidak tersenyum. Aku berlalu ketika urusanku selesai di warung itu. Pagi itu adalah pertama kali kami bertemu setelah sembilan tahun.

3 hari kemudian ibuku yang saat itu baru saja pulang dari sebuah acara kampung membawa kabar yang penting-tidak penting untuk di dengar.

"Masih kenal Lina?" Tanya Ibu sore itu.

"Masih, tapi kemaren ketemu di warung gak nyapa." Jawabku sejujurnya (aku memang bukan tukang bohong).

"Iya, waktu ditanya dia juga bilang, masih inget tapi rada-rada lupa wajahnya." Ibu meniru ucapan Lina.

Jadi aku mengerti sekarang mengapa Lina ketika itu hanya menatap tanpa senyum, padahal dia terkenal seorang yang ramah.

Aku pikir di beberapa hari berikutnya aku dengan mudah dapat berpapasan lagi di jalan dengan Lina karena memang jarak rumah kami cukup dekat. Ternyata tidak bahkan sampai dia terbang lagi ke Jakarta.

Seminggu setelah dia balik ke Jakarta, aku menyusul. Bukan menyusul Lina, tetapi menyusul ke Jakarta sebagai transit pertamaku menuju Malang. Selama beberapa hari aku menginap di rumah temanku di Jakarta. Selama beberapa hari itu pula aku di service (kecuali satu hari) dan di ajak keliling ibukota yang sumpek, macet dan panas namun penuh kemewahan yang tak pernah kulihat di pelosok Sumatera.

Lagsung saja pada inti pembicaraannya. Aku bertemu Lina di sebuah Mall di Jakarta (Sepengetahuanku, yang namanya jalan-jalan di Jakarta adalah mampir ke mall). Kebetulan sekali ketika itu aku sedang bersama teman perempuanku (sebut saja pacar, namanya Dinda). Karena saat itu kawan yang rumahnya aku pakai untuk menginap sedang terjebak macet sehabis mengurus bisnis kecilnya, jadilah aku mengajak orang spesialku saat itu (Ekhm).

Seperti yang bisa ditebak dengan sangat mudah, aku bertemu Lina di sana. Saat itu ketika sehabis nonton bioskop dan aku menunggu di depan toilet perempuan (Biasa gengs, nungguin si Dinda yang sedang meng-upgrade dandanannya).

Aku tahu itu Lina, tapi tidak berani menyapanya duluan, apa lagi di Jakarta (Memang ada hubungannya?). Jadilah selama beberapa belas detik aku melihat Lina tanpa kedip. Ingin menyapa takut di bilang sok kenal, tidak disapa nanti di bilang sombong. Otakku berpikir keras saat itu apa yang harus aku lakukan.

Seseorang dari kamar mandi kemudian menegur Lina, lalu tiba-tiba saja mereka mereka perbelukan, tertawa bersama (lumayan kencang, membuat beberapa orang yang keluar-masuk toilet menoleh sejenak). Kalian tebak gengs, Lina ternyata sedang bicara dengan Dinda. Mereka terlihat sangat akrab. Sempat ku dengar beberapa pertanyaan yang membuat kami bertiga akhirnya makan bersama. (Berempat lebih tepatnya bersama satu teman Lina yang saat itu masih di toilet).

"Sama siapa Din?" Itu pertanyaan dari Lina kepada Dinda.

Dinda menunjukku dan aku beradu pandang (lagi) dengan Lina. Kami bersalaman dan kemudian saling menyebutkan nama. reflek kami tersenyum lebar yang kemudian berubah menjadi tawa.

"Masih inget aku?" Tanya Lina.

"Kan kita pernah ketemu di warung nenek Sari." Jawabku.

Tawa kami semakin kencang hingga membuat teman Lina yang tidak mengerti apa-apa langsung berekspresi bingung ketika muncul dari pintu toilet. Begitu juga dengan Dinda yang sama bingungnya. Ketika kami makan barulah aku mulai mengerti apa yang sedang terjadi, begitu juga dengan Dinda. Lina apalagi, dia jauh lebih mengerti. Hanya temannya saja yang masih melongo melihat kami bertiga yang tiba-tiba saja akrab padahal baru bertemu. sepertinya dia masih bingung.

Untuk lebih jelasnya mari kupaparkan. Aku dan Lina adalah teman SD. Lina dan Dinda adalah teman dekat ketika mereka SMP. Aku dan Dinda, tentu tidak perlu ditanya lagi bukan? (SEPASANG KEKASIH !!! Jika kalian masih terlalu idiot untuk mengerti).

Lalu bagaimana dengan teman Lina yang masih bingung itu? Dia orang baru dan tidak terlibat sama sekali dalam hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar