Minggu, Desember 27, 2015

Memilih Menghilang

Hubungan kami berakhir dengan tidak baik. Dia tidak lagi pernah mau menemui saya sejak peristiwa dinihari itu. Empat tahun lalu hubungan kami berakhir tanpa sebuah penyelesaian. Berhenti begitu saja setelah kejadian pahit yang hampir saja berakibat fatal untuk kehidupan kami. 

Saat itu kami masih sama-sama kuliah, sekitar satu setengah tahun menuju akhir yang bernama wisuda. Dan selama itu pula kami bagaikan manusia yang tidak ditakdirkan untuk berkenalan. Untuk beberapa saat kami masih berpapasan di kampus, namun tepat seminggu setelah itu, batang hidungnya tak lagi pernah kelihatan. Tidak, dia tidak pindah apalagi berhenti kuliah. Hanya saja kini waktunya tidak lagi dia habiskan di kampus seperti biasa. Kedatangannya ke kampus hanyalah untuk kuliah atau menemui dosen, itu saja. Dia merasa kampus bagai neraka jika saja di sana ada seorang laki-laki biadab yang telah menggores tinta merah di lembar kertas hidupnya.

Memang, terlibat dalam permasalahan rumit membuat sebagian orang lebih memilih untuk menghilang begitu saja. Demikian juga aku yang dalam beberapa waktu awal memilih diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah tidak peduli padahal tidak demikian adanya. Aku diam karena yakin, dia dalam waktu-waktu tersebut hanya ingin sendiri menikmati hembusan angin, lalu meneteskan air mata sesal, sedih, serta kecewanya. kehadiranku menyapanya hanya akan membuat suasana semakin genting dan semrawut.


Dari kawannya, tertulis sebuah chatting untuk tidak lagi berusaha menemui. Melewati jalan sendiri-sendiri tampak jauh lebih baik, begitu katanya. Ya, mungkin karena saat ini hati sedang berada dalam kondisi tidak prima. Asalkan tidak ada si pembuat luka, semua terasa akan bahagia. Itu yang dia rasa dan ceritakan kepada kawannya.

Sangat berat awalnya untuk menerima, namun perlahan aku coba untuk menyadari bahwa inilah konsekuensi dari atas apa yang telah kuperbuat. Menyesal, tentu saja sangat menyesal, tapi haruskah dengan jalan terus menerus menyusahkan diri sendiri dan terkulai lemas tidak mau bangkit? Aku rasa tidak. Lupakan masa lalu, dan mulai cerita baru dengan langkah yang lebih pasti.

Aku yakin dia pun akan begitu. Dia sosok yang kuat dan tegar. Hanya kebenaran bahwa dia adalah seorang wanita sajalah yang membuatnya terlihat lebih lemah. Padahal nyatanya dia seorang yang tidak kenal menyerah apalagi hanya gara-gara seorang pria. Jangan habiskan waktu untuk sebuah penyesalan, bangkit dan berdirilah untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Aku yakin, kata-kata inilah yang ada dalam benaknya.

Hari-hari kami berlalu tanpa bertemu, kesibukan semakin padat terus menghampiri, kawannya tetap menjadi temanku, hanya saja kami tidak pernah lagi berkumpul bersama. Dan tidak ada lagi satu kata pembahasan antara aku dan dia. Seolah kembali ke waktu dimana kami belum berjumpa, yang satu sama lainnya tidak saling mengetahui. 

Dua tahun berlalu dengan cepat. aku dan dia tidak juga punya itikad baik untuk kembali memulai. Aku sempat melihatnya di liburan tahun baru. Saat itu aku baru saja selesai sidang skripsi sementara dia (cerita kawanku) sudah bekerja di Surabaya. Hari itu dia bersama seorang pria. Tidak kuketahui, mungkin orang yang dikenalnya ketika magang setahun lalu, karena dari kabar yang beredar, dia sedang dekat dengan seorang mahasiswa S2 di Bogor. 

Hari itu aku yakin dia juga melihatku, namun dia memilih untuk memalingkan wajah seolah tidak menyadari keberadaanku. Untuk beberapa waktu aku terus menatapnya, hanya saja sepertinya dia masih belum sudi untuk menerima bahwa aku pernah hampir mencelakainya. Sesulit itukah? Sesalah itukah aku dimatanya? Akhirnya aku putuskan untuk tidak lagi memandangnya yang telah berbalik badan dan dirangkul seorang pria.

Peristiwa hari itu cukup untuk membuat batin berhenti berharap. Dia sudah ada yang punya sementara aku masih saja bertahan dengan rasa yang sama. Betapa bodohnya aku hingga detik itu. Dan satu hal yang kusadari saat itu, ternyata aku tidaklah mampu bangkit dan melangkah seperti dia melakukannya. Dia jauh lebih tegar.

3 bulan berikutnya aku wisuda. Ya akhirnya butuh waktu sekitar 4,5 tahun untuk sebuah gelar sarjana. Molor satu semester dari yang seharusnya. Tidak masalah karena telah mencapai kesepakatan dengan perusahaan tempat magangku setahun lalu.

Setahun berikutnya setelah bekerja, perusahaan itu memindahkanku ke Jakarta. Tidak ada alasan dan pengalihan agar aku bisa menolaknya. Kontrak membuatku harus patuh pada semua aturan yang ada. Perjalanan dari Balikpapan tidak begitu melelahkan sebenarnya. namun ketika tiba di Jakarta, semua terasa gerah. Jakarta memang panas, di luar itu Jakarta memang telah membuat hati panas karena pernah terjadi beberapa kali peristiwa tidak enak tentang kota ini.

2 bulan di Jakarta aku habiskan dengan hanya fokus bekerja. Sebelum akhirnya kawan SMA yang ternyata berdomisili di Jakarta menghubungiku setelah mendapat kabar bahwa aku kini bekerja di Jakarta. Diajaknya mampir yang tentu saja tidak ada kata penolakan karena memang sudah sangat rindu pada kawan lama. 

Aku lupa rumahnya persis dimana. Yang pasti kondisinya sedikit lebih baik daripada rumah dinasku yang kecil dan panas. Dia dan orang tuanya ternyata kini sudah pindah ke Jakarta. Bangkrutnya perusahaan tambang ayahnya di pelosok sana membuat dia kini menjadi warga ibukota. 

Beberapa kali aku juga diajaknya untuk keluar bersama sekedar makan malam atau nonton. Mengisi waktu  kosong malam minggu yang biasanya hanya kuisi dengan menulis blog. Menulis cerita-cerita galau tentang masa lalu.

"Aku masih ngikutin blog kamu lo." Katanya tersenyum. Saat itu kami sedang makan di foodcourt sehabis nonton.

"Oh, ya?" Aku sedikit tidak percaya awalnya. Tapi kemudian benar-benar diyakinkannya dengan menceritakan beberapa postingan terbaru.

"Masih inget aja ternyata." Kataku.

"Nggak, ada orang di kantor yang suka baca blog kamu". Jawabnya cukup mengesalkan dan membuat rasa PD-ku hilang seketika.

"Katanya dia tau kamu." Kata Vita. Ya, nama kawan SMA ku itu adalah Vita.

"Siapa?" Tanyaku spontan.

Sejujurnya aku tidak terlalu tertarik mengetahui siapa kawan kantor Vita. Blog yang kutulis semuanya adalah tentang masa lalu. Jika dia kenal aku, berarti dia mengetahui bagaimana hubunganku dengan tokoh yang aku tulis disitu. Lagipula saat itu blogku sudah tersebar kemana-mana oleh share sosmed dari beberapa kawanku yang juga blogger. Mungkin saja dia adalah kawan dari kawanku juga. Karena sesuai yang dikatakan Vita "dia tau kamu", Vita tidak mengatakan dengan bahasa "Dia kenal kamu". Antara kata Tau dan Kenal memiliki dua makna yang berbeda.

"Mungkin kamu kenal dia." Jawab Vita.

Dan jawaban inilah yang akhirnya membuat aku ingin tahu siapa yang dimaksud Vita.

"Kapan-kapan aku temuin deh sama dia." Vita menyambung sebelum aku sempat menjawabnya.

Makan selesai dengan cerita tentang blog. Kami beranjak pulang dengan berjalan secara berdampingan. Dulu kami sempat menjalin cinta semasa SMA, banyak yang mengatakan kami serasi dan jika punya anak nanti anaknya pasti akan sangat lucu, berasal dari kombinasi dua wajah kami yang mereka bilang imut. Namun tidak berlanjut karena memang sepertinya tidak jodoh.

Belum sempat keluar dari footcourt, seseorang memanggilku. Dari nadanya, jelas bukan niat untuk memanggil, tetapi lebih ke arah kaget dan penasaran apakah itu benar-benar orang yang dia maksud. Aku dan Vita menoleh bersamaan. 

Orang itu tersenyum.

"Eh, Amelia." Sapaku. Dan reflek aku melangkah mendekatinya yang diikuti juga dengan langkah Vita.

"Lagi apa? Ini yang baru?" Pertanyaan Amelia yang kedua langsung membuat Vita setengah terperanjat. Aku biarkan saja karena memang kenyataannya kami terlihat seperti pasangan yang baru saja menikah.

Aku tersenyum. Untuk beberapa detik itu aku hanya fokus pada Amelia, karena malam itu dia memakai baju yang ketat dan sedikit terbuka, padahal seingatku ketika kuliah dulu dia selalu berjilbab.

"Gak mau nyapa dia?" Amelia menunjuk seseorang dengan mulut sexynya. 

Aku kaget karena tidak menyadari bahwa ada orang lagi di meja itu. Aku menoleh dan darahku tiba-tiba seperti keluar dari semua lubang yang ada di tubuh. Ada orang lain ternyata di meja itu.

Hening sejenak. Amelia mencoba sedikit menikmati keadaan karena dai tahu apa yang terjadi. Vita bingung, apa yang sedang terjadi antara aku dan Amelia. Juga dengan seseorang yang ditunjuk Amelia barusan.

"Hai, Gi." Dia menyapaku sambil tersenyum sementara mulutku masih sedikit ternganga, kaget.

Kami bersalaman dalam keadaan mulutku yang masih ternganga dan darah yang keluar dari setiap lubang terasa semakin deras mengalir.

"Hai juga, Denni". Sapaku balik. Aku terbata karena tiba-tiba lunglai dan ingin buang air kecil.

Dennis menatap lama ke arah Vita. Wajahnya tampak sedikit layu setelah memandang Vita yang tiba-tiba memegang tanganku. Lagi-lagi ada orang yang salah sangka sepertinya, menganggap aku dan Vita adalah sepasang kekasih. 

"Lama gak ketemu Den." Aku memecah diam karena Amelia sepertinya lebih memilih untuk tidak bersuara sambil menikmati tontonan menarik sementara Vita juga masih diam, bukan karena menikmati tontonan, tetapi lebih karena bingung dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Iya." jawab Denni singkat. Dapat kupastikan bahwa adanya Vita di sampingku membuat Denni tidak bisa bersikap normal. Ditambah lagi 2 tahun terakhir kami sama sekali tidak saling berkomunikasi. Satu setengah tahun menjalin kebersamaan membuat aku mengerti sikap dan gelagat Denni termasuk apa yang ada dalam pikirannya. Dikiranya aku sudah lupa tentang masa lalu bersamanya dan telah menemukan pengganti. 

Tapi aku sedang tidak ingin membahas itu. Aku usahakan untuk berlaku seperti aku berlaku pada Amelia. Aku dan Vita akhirnya bergabung walau hanya sebentar. Dengan alasan mengantar Vita pulang, aku pamit beberapa saat kemudian karena tidak tahan melihat mata Denni yang berkaca menahan air mata. Vita mulai mengerti akan situasi yang terjadi jadi dia hanya mengikut saja untuk saat itu. Dan diperjalanan pulang aku dicecar ratusan pertanyaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar