Ada sedikit cerita tentang debat tertutup hari ini. Tentu saja yang pasti bukan cerita tentang adu argumen 8 calon Legislatif dan 2 calon Eksekutif yang maju menjadi perwakilan untuk setahun ke depan, hal ini sama sekali tidak menarik untuk dibahas. Karena siapapun yang nantinya terpilih, ya itulah suara terbanyak yang berasal dari votenya warga fakultas. Ini adalah tentang mata saya yang lagi-lagi menangkap sesuatu. Tentu saja tidak pernah jauh dari manusia tak pernah salah (katanya) yang juga disebut dalam beberapa istilah berbeda, wanita, perempuan, cewek, kaum hawa, dan sebagainya.
Sebelum membahasnya, sedikit kutipan manfaat dari debat tertutup yang dapat saya tangkap hari ini, perlu rasanya untuk dishare agar sedikit-banyaknya ada perubahan ke arah yang lebih baik dalam keseharian kita. Jangan pernah menilai orang hanya dari kebiasaannya, kenalilah terlebih dahulu dia lebih dalam sebelum memberikan penilaian yang sepihak. Saya dapatkan pelajaran ini dari salah seorang calon yang mendapat pertanyaan dari audiens. Mungkin kalian tidak begitu memahami maknanya jika belum merasakan. Tetapi perlu diingat, jangan lupakan kata-kata ini karena bisa saja suatu saat akan ada yang justru menyerang balik karena kalian melanggar nasehat ini.
Cukup !!! Kita kembali kemana seharusnya jalan cerita ini mengalur.
Dia sedang berdiri di belakang saat saya masuki ruangan yang hampir benar-benar steril dari dunia luar itu (maksudnya dari orang-orang yang tidak terlibat secara langsung). Pun saya sebenarnya bukan orang yang bisa ikut dalam acara tersebut. Saya bukan panitia, bukan pemilik proker (program kerja), bukan undangan, bukan tim sukses, bukan perwakilan organisasi, apalagi perwakilan jajaran Dekanat fakultas. Jelas saja bukan. Wong saya hanya mahasiswa biasa dan biasa-biasa saja. Tetapi karena sedikit berpandai-pandai saya akhirnya dapat satu kursi untuk bisa diduduki pada debat tersebut. Sekali lagi saya bisa masuk dan duduk sebagai audiens.
Debat ini tidak terlalu menarik karena mata saya lebih tertuju pada kesibukan seseorang yang memakai almamater dan menyandang kamera SLR di lehernya. Ini adalah ciri yang menandakan bahwa dia adalah panitia dan bertugas dalam hal dokumentasi. Harus diakui bahwa dalam sekali pandang dia adalah makhluk yang benar-benar sempurna. Di luar sikap dan kepribadiannya yang tidak saya ketahui, dia dengan sangat jelas ditempeli label kecantikan yang sangat istimewa. Bukan pertama kali memang saya melihatnya. Berkali-kali, bahkan sangat sering dia muncul di depan mata, entah ketika keluar kelas, sedang berjalan di lorong fakultas, sedang makan di kantin, bahkan ketika keluar dari kamar mandi (kamar mandi di kampus tentu saja, bukan kamar mandi di kost atau rumahnya, apalagi kamar mandi saya).
Kali ini saya agak susah merangkai kata, masih harus berpikir kata apa yang sekiranya pas dan pantas untuk mendeskripsikan orang ini. Dia terlalu cantik, dan terlalu jauh jika disandingkan dengan saya. Sejauh jarak bumi dan langit yang dibatasi atmosfer yang membuat bintang jatuh tidak jadi sampai menyentuh tanah karena telah terbakar dalam perjalanannya yang sangat panjang. (Owhhpps, sepertinya saya memilih perbandingan yang kurang pas).
Ah, entahlah. Dia memang benar-benar sulit untuk dideskripsikan. Bahkan jauh lebih sulit daripada mendeskripsikan berbagai macam tanah seperti pada salah satu mata kuliah yang saya ambil. Oke !!! Saya cukupkan di sini saja karena tidak tahu lagi harus memakai rangkaian kata yang bagaimana untuk memujinya. Intinya dia cantik dan saya suka melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar