Alasannya sederhana, karena lewat sastra kutemukan sebuah kata bernama prestasi. Itu tahun 2000, hanya sekali dan semenjak itu sastra rasanya semakin jauh saja, terlupakan oleh perjalan waktu. Hingga akhirnya setelah belasan tahun aku dibuat berkenalan lagi setelah berjumpa dengan seorang mahasiswi Sastra Jepang Asal Ibukota. Ya, dengan kamu saat kita tidak sengaja hadir dalam sebuah acara Unit Kegiatan Kampus.
Antara badung dan tidak, itu pribadiku yang pernah dijelaskan saat pengambilan rapor semasa taman kanak-kanak. Suka berteriak, dan banyak bicara. Kurasa itu karena kegirangan kelewat batas atas hari sekolah yang sudah lama aku memimpikannya. Aku menikmati dan mengekspresikan hari-hari bersama seragam, bersama waktu masuk dan bersama waktu pulang.
Menjadi siswa setengah badung bukan berarti tak bisa diandalkan. Dari itu agaknya aku merasakan yang namanya juara. Melalui puisi, kubuat sebuah momentum baru, bahwasanya piala yang akan memenuhi lemari reot di ruang tamu itu tidak hanya 1, akan ada piala-piala selanjutnya yang akan kubawa pulang. Pertama kali (sebut saja bakat, bair aku tampak keren) bakatku ditemukan kepala sekolah, aku diminta ikut latihan membaca puisi untuk dilombakan. Kabupaten awalnya, dan jika lolos maka levelnya akan naik satu tingkat, provinsi.
Tidak akan kubahas jika aku hanya sebagai peserta biasa. Tidak ada yang menyangka bahwa aku dapat nilai terbaik hari itu, dengan senang hati dan bangga (saat itu aku belum tahu arti kata bangga), kunaiki podium tertinggi yang dibuat dari bangku panjang. Sederhana dan seadanya sekali. Aku juga tidak mengerti dengan kata juara yang saat itu disebutkan panitia. Yang kudengar, tepat 2 minggu dari hari itu, aku dan peraih juara 2 akan diberangkatkan ke Padang mewakili kabupaten untuk lomba tingkat provinsi.
Aku diam saja sementara di bawah sana Ibu dan Kepala Sekolah berteriak girang, disaksikan banyak mata yang mengarah kepada mereka. Aku menyadari satu hal tepat sehari setelah hari pengumuman. Kata-kata juara itu menyebalkan. Waktu mainku berkurang sangat banyak, dan aku harus pulang lebih lama dari yang lain, di rumah aku tidak bisa nonton tv seperti biasa, dijadwalkan waktunya, hanya beberapa jam saja.
"Ayo latihan dulu, sebentar lagi kamu lomba."
Latihan dan persiapan. Itulah alasannya. Aku tidak begitu menikmati hari selama 2 minggu sebelum keberangkatan. Bahkan seminggu terakhir aku sama sekali tidak boleh keluar rumah, meski di rumah pun aku tidak sering latihan. Untuk menjaga suara saja agar tidak paraw ketika nanti tiba di panggung. Aku harus memakan panggangan tebu, meminum jahe yang baunya membuat muntah, dan banyak lagi.
Dan bukankah tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan? Waktu main yang hilang dan waktu nonton tv yang semakin sedikit adalah bagian kecil dari banyak yang kukorbankan untuk lomba yang saat itu aku tidak begitu suka kecuali tepuk tangan yang mengiringi saat aku berjalan menuruni panggung. Singkat cerita, raihan juaraku tidak berubah, aku tetap berada di podium nomor wahid, berfoto dengan memegang piala setinggi 80 cm, sementara tinggiku hanya 120 cm. Jadilah ketika melihat hasil cetakan, lebih dari setengah mukaku tertutup piala.
Dari sana aku mulai mengenal apa itu sastra. Sayang, keluargaku tidak begitu kuat menerjunkanku ke sana karena tidak ada biaya sisa dari kehidupan sehari-hari kami. Aku tidak pernah membeli buku-buku sastra, bahkan buku pelajaran wajib saat SD, SMP, dan SMA saja, hanya kubeli saat itu memang diwajibkan.
Aku dialihkan untuk berpidato, yang tidak begitu mentereng prestasinya. Menjadi juara kedua ternyata tidak prestisius. Lalu aku diterjunkan lagi untuk menjadi seorang hafiz penghafal Al-Quran. Malas-malasan. Dalam sebulan bahkan aku hanya dapat menghafal 4 halaman surat Al-Baqarah tanpa terjemahan. SD, SMP, dan SMA ku agak membosankan jadinya. Aku menjadi seorang yang agak terkekang, yang susah keluar rumah dalam jadwal yang tidak biasa.
Ternyata itu adalah penyesalan. Saat menjadi seorang mahasiswa, aku tidak punya keahlian apa-apa untuk dapat ditonjolkan. Kemapuan hafiz dan hafalan Al-Quran turun drastis, prestasi akademik dari dulu tidak pernah mentereng, tidak juga piawai dalam bergaul. Puisi? Sastra? Ah, aku bahkan pernah lupa dengan kata-kata itu. Selama bertahun-tahun aku tidak menyentuh bidang yang membawaku 'meraih nama' diusia yang baru menginjak 5 tahun lebih sedikit.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba aku ingin menjadi seorang penulis. Bukan untuk diterbitkan, hanya sebagai pengisi waktu saja. Kamu agaknya yang pertama kali menginspirasi tulisan-tulisanku. Ketika berkenalan dan kamu sebutkan jurusan, aku merasa ada yang menarik. entah karena kamu good looking dan ramah, atau memang karena ada kata 'sastra' yang kamu sebutkan saat perkenalan. Pastinya semenjak itu aku mulai menghabiskan waktu dan menempatkan diri di perpustakaan mahasiswa Sastra dan Ilmu budaya, membaca novel-novel karangan perangkai kata handal. Jujur saja, aku buta sekali dengan nama-nama penulis sastra, rata-rata setiap nama yang terpampang adalah baru bagiku.
Detik ini, tidak banyak keapikan sastra yang menarikku, hanya karena berkenalan denganmu saja, lalu itu membawaku ke cerita lama tentang prestasi pertama yang kuraih. Aku ingin merasakan lagi prestisiusnya pengumuman juara pertama. Catatan penting yang harus digaris bawahi, kamu melakukan satu hal berarti, membuatku jatuh cinta pada 2 hal sekaligus, kepada sastra dan kepadamu.