Rabu, Januari 20, 2016
Selasa, Januari 19, 2016
Kapan Bertemu
Subuh tadi setelah menunaikan 2 rakaat
kewajiban, mataku tidak lagi bisa dipejamkan. Mungkin karena ini bukan tempat
yang biasa, dan aku juga baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Sekitar 4
jam perjalanan darat ke arah barat laut dari kotamu, tempat yang selama ini aku
tinggali. Hawanya sedikit lebih panas namun sedikit lebih damai dan bersahabat
suasananya. Dan kamu tahu, detik ini aku merindukan sebuah ruangan kecil yang
seringkali pintunya tertutup, ruangan yang selalu dipenuhi pikiran tentangmu saat
aku berada di dalamnya. Ruangan tempat aku merangkai kata untuk menyanjungmu,
atau mungkin juga untuk menyinggungmu (maaf).
Tentang pertemuan kita, aku percaya bahwa sebuah pertemuan tidak
pernah berasal dari sebuah kebetulan. Dunia tidak pernah memasukkan kata
kebetulan dalam perjalanan panjangnya. Semua sudah terkonsep, tinggal bagaimana
setiap penghuni dunia menjalaninya. Kita yang membuat semua menjadi seolah
tampak tidak disengaja, padahal jauh dari itu, ada sebuah rencana yang
sebenarnya sudah lama tersurat dan tanpa sadar kita sedang menjalaninya.
Jadi, pertemuan kita tempo hari bukanlah
sebuah kebetulan, bukan? Melainkan suratan yang mengharuskan untuk dijalani.
Firasatku, saat ini ada sedikit syak di dadamu setelah benar-benar menyadari
mengapa kita harus bertemu. Pertemuan kita boleh saja membuat kamu sedikit luka
dan kecewa, atau mungkin juga telah menyulut api amarah. Percaya saja, tidak ada
yang sia-sia dalam setiap rencana. Luka, kecewa, atau amarahmu adalah sebuah
cerita yang mungkin bisa kamu deskripsikan dan terjemahkan untuk hal lain suatu
saat nanti. Bisa kamu jadikan pelajaran dan acuan menjalani suratan berikutnya.
Oh iya, maaf aku tidak bermaksud
mengguruimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sedang rindu. Kepada kamu, kapan
kita akan bertemu? Mungkin tidak dalam waktu dekat ini, tapi aku yakin suatu
saat ada hal yang akan membuat kita mau tidak mau harus bertemu kembali. Satu
pesanku untuk pertemuan kita nanti, tersenyumlah, kamu tampak lebih sempurna
jika tersenyum.
Sabtu, Januari 16, 2016
CAPTION RASA
Aku
menangkap sedikit sinyal ketidakberesan tentang apa yang tampil di timeline, dimana
caption yang tertulis sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang
tergambar dalam foto di atasnya. Jikapun ada, hubungannya sangatlah kaku
sehingga perlu pengamatan teramat teliti agar bisa melihat kesingkronan antar
keduanya.
Yang
bisa kuterjemahkan ketika itu, ada rasa hati yang mungkin sangat ingin dia lepaskan,
entah hanya dengan sekedar bermonolog, atau mungkin dalam bentuk curhatan yang
tidak jelas kepada siapa ia curahkan. Atau mungkin juga sebuah sindiran kepada
seorang yang pernah membuatnya kecewa. Ah, bicara tentang kemungkinan tentu
tidak akan ada habisnya. Dunia selalu dipenuhi dengan berbagai kemungkinan.
Sebagai
pembaca yang budiman (hehe), apapun bentuk tulisan yang tergambar, biasanya aku
selalu menerjemahkan dalam beberapa hal, dalam beberapa sudut pandang lebih
tepatnya. Melihat dulu kemungkinan-kemungkinan yang mungkin melandasi
terlahirnya tulisan yang seseorang buat.
Aku
bukan manusia ahli bahasa, juga bukan seorang yang berlatar belakang sastra. Aku
hanya pecinta aksara tanpa paham ragam dan maksud berbahasa. Aku tidak mengerti
bagaimana seniman kata merangkai kalimat-kalimat indah, namun aku yakin, setiap
kalimat selalu berasal dari kata yang syarat makna dalam keadaan dan
perasaan yang sedang dia rasa.
Tentang
foto dan caption yang seolah tidak bersambung tadi, hatiku lebih berat untuk berkata bahwa itu adalah
sebuah sindiran. Terlepas dari benar tidaknya terkaanku, semua bermuara ke sebuah
cerita yang dulu sempat kami lalui bersama. Tidak banyak, hanya kata melalui
media namun sepertinya cukup mengena dalam jiwa, aku dan dia.
Ingin
kutanggapi, tapi aku bingung harus dengan cara apa dan bagaimana melakukannya.
Aku tidak lagi ingin mengungkit kisah lama, karena bukan tidak mungkin akan
menjatuhkan air mata nantinya. Ah, aku terlalu bersilat lidah yang selalu kuterjemahkan
dalam kata berbentuk goresan tinta. Nyatanya rasa memang tidak pernah salah dalam bermain kata, bukan? Dengan
cinta dia sering bekerja sama. Kadangkala melahirkan canda, ceria dan tawa,
kadang juga melahirkan sedih dan kecewa.
Jadi
kesimpulannya?
Detik
ini aku tidak bisa (lebih tepatnya belum bisa) menyimpulkan. Karena cinta, rasa, ataupun suka biasanya juga terpengaruh oleh waktu, dan biasanya lagi selalu bermula dari sebuah rasa penasaran. Dan rasa penasaran suatu saat
juga bisa berubah menjadi cinta. Jika diibaratkan dengan sungai, rasa penasaran adalah hulu sebagai sumber dan awal mulanya, kemudian aliran yang semakin panjang dan lebar (semakin luas) bisa diumpamakan sebagai rasa suka. Dan Muara tempat semuanya berakhir adalah cinta. Tunggu sampai waktu mampu menjawab dan
menerjemahkan semuanya.
Rabu, Januari 13, 2016
Libur
Salah satu kegiatan mengisi libur.
Perjalana ke gunung Butak via kebun teh Sirah Kencong Blitar
|
Oh rindu.....
Rindu denai siang jo malam
Sebagian lirik lagu itu meminta untuk segera pulang. Pertanyaan dari rumah pun juga sudah sering terlayang. Kapan libur? Kebanyakan orang-orang menerjemahkan pertanyaan 'kapan libur?' dengan 'kapan pulang? Kami sudah rindu untuk bertemu, pulanglah ke rumah', baik bagi yang menerima ataupun yang melayangkan pertanyaan.
Aku pun pernah mendapat pertanyaan demikian, hanya saja dengan terjemahan yang jauh berbeda. Pertanyaan tentang kapan libur yang ditujukan kepadaku bukan berarti menuntutku untuk segera pulang, melainkan bahwa uang bulanan akan sedikit berkurang. Ah, sebenarnya ini menyesakkan tapi keadaan telah memaksa.
Selama libur tidak ada buku yang harus dibeli atau difotokopi. Tidak ada kegiatan kampus yang memaksa mengeluarkan uang lebih. Libur hanya menghabiskan waktu dengan pengeluaran untuk makan saja. Dan aku tidak akan bisa pergi berlibur? Tentunya, karena kiriman akan dipotong beberapa persen sehingga hanya pas untuk pengeluaran makan saja.
Kadang rasanya menyedihkan. Tidak bisa pulang kampung seperti yang lain karena ongkos yang dikeluarkan cukup besar. Sekitar 2 bulan uang makan untuk sekali perjalanan. Jika dihitung pulang-pergi (PP) maka untuk ongkos saja berarti aku telah menghabiskan uang jajan selama 4 bulan. Bukan lebih sayang kepada uang dibandingkan keluarga, kadangkala memang harus ada yang dikorbankan untuk kepentingan masa depan.
Dalam beberapa kali libur aku memilih untuk bekerja, sebagai apa saja. Aku pernah menjadi pelayan di sebuah rumah makan dekat stasiun, aku pernah menjadi kuli walaupun saat itu (alhamdulillah) kerjanya tidak terlalu berat, dan aku juga pernah bekerja sebagai juru bersih-bersih rumah.
Ketika semua orang gegap gempita menunggu waktu libur tiba, aku justru bersiap dengan kelelahan yang akan datang lebih dari biasanya. Otak memang tidak akan terlalu panas dan berat untuk berpikir, tetapi fisik jauh lebih lelah dibuatnya.
Apakah aku terlalu sengsara menjadi mahasiswa? Semua yang aku rasa selama ini bukan sebuah kesengsaraan, melainkan anugerah yang tiada duanya. Dalam keadaan terpuruk, dalam keadaan yang serba sulit, Ayah-Ibu masih sanggup membiayai kuliah. Bukan alasan untuk tidak bahagia ketika tidak dapat pulang ke rumah atau tidak bisa bermanja diri dengan berlibur. Sejatinya bahagia bisa dibentuk sendiri dalam keadaan sulit sekalipun. Hanya rasa syukur yang perlu diperbanyak dalam setiap kondisi.
Apakah aku tidak pernah mengeluh? Bohong jika aku mengatakan tidak pernah. Pernah bahkan sering aku mengeluh dengan keadaan yang seringkali kuanggap tidak adil. Tetapi suara Ayah-Ibu ditelpon akhirnya membuat aku merasa menjadi seorang yang sangat beruntung. Kadang juga aku merasa menjadi seorang yang tidak tahu diri karena sebenarnya masih banyak yang ingin berada di posisiku namun mereka tidak bisa.
Selamat berlibur !!!!
Minggu, Januari 10, 2016
Media
Kita bicara melalui perantara media-media yang tidak bernyawa. Melalui tulisan dengan cara yang berbeda kita coba saling berkata. Mengapa? Karena kita sedang dikekang kaku yang perannya terlalu keterlaluan. Membuat kita tidak mampu maksimalkan langkah untuk bertemu, tidak sanggup berdayakan mulut yang punyai wewenang lebih jauh.
Kadang terkesan berguyon dan berlelucon. Atau mungkin kita yang memang terlalu egois dalam berperasaan. Dengan sangat leluasa dan mudahnya emosional memenjarakan kerendahan hati yang kita punya. Berapa usia kita sehingga masih harus bermain aksara untuk bisa bersuara? Apa salahnya jika kita berjumpa, lalu kita mainkan suara dalam rangkaian kata?
Ah sudahlah, dunia memang sering bercanda dengan penikmatnya.
Sabtu, Januari 09, 2016
Improvisasi Cinta
Tidak seharusnya, dan juga tidak ada aturan untuk menikmati satu cinta saja selama menjadi bagian dari kehidupan. Terlalu sepikah dunia untuk membuat kamu jatuh cinta lagi? Atau kamu yang memang terlalu minim dalam bergaul sehingga hanya kenal beberapa orang saja di atas padatnya penghuni bumi ini?
Ada banyak kelebihan dan tentunya ada banyak kekurangan. Ada kalanya kamu bertemu dua kelebihan pada dua insan berbeda, dan kamu dibuat jatuh cinta oleh keduanya. Bukankah sesuatu yang wajar? Dan jangan persempit cinta hanya pada persoalan tentang rasa ingin memiliki. Cinta dalam artian luas memiliki banyak makna untuk di definisikan. Jadi jangan pernah mengatakan tidak untuk jatuh cinta lagi saat kamu merasa sudah memiliki cinta sebelumnya.
Jangan menutup diri akan cinta-cinta yang bertebaran. Dunia akan tampak suram dan membosankan jika kamu terlalu fokus hanya pada satu cinta saja. Tidak masalah jika seandainya kamu dibuat jatuh cinta lagi oleh penghuni dunia yang lain. Hanya saja, mampukah kamu memainkan peran untuk itu dan sejauh mana cinta yang baru bisa kamu berikan kebebasan untuk berimprovisasi?
Jumat, Januari 08, 2016
Bingkai Potret
Hadirku tidak selalu datangkan nuansa ceria
Cinta bukan hal yang sempurna saat aku dan kamu dibersamakan oleh kita
Aksara pun juga tidak akan bertambah indah kala kita duduk dalam romansa yang sama
Seringkali kamu terlihat sangat sempurna
Namun, jika cinta memang tidak mengharuskan untuk bersama
Mengapa kita masih ada dalam bingkai potret yang sama?
Kamis, Januari 07, 2016
Niat Bicara
Bukan diam yang sebenarnya diingini hati. Aku dan kamu tidak pernah tertarik untuk berteman dengan sepi. Juga tidak pernah mampu mengakui adanya rindu yang semakin menjadi.
Aku terkesima sudah menjadi hal biasa, mata tak berkedip juga adalah cerita yang sangat lumrah, kamu selalu hadirkan istimewa dalam setiap irama langkah.
Sayangnya, tidak selalu kita berbalas sapa, bahkan kadang seperti jiwa-jiwa yang lelah dalam langkah, membiarkan angin membelai wajah menjadi perantara tanpa ada niat bicara.
Selasa, Januari 05, 2016
Kamu dan Kotamu
Selamat pagi gadis Ibukota. Apa yang kamu rasakan pagi ini? Bahagia atau biasa sajakah libur ini bagimu? Tentunya kamu punya cara sendiri untuk membuat agar bahagia selalu menyapa di setiap aktivitasmu karena kamu seorang yang hebat dan luar biasa.
Sekitar 1,5 tahun lalu keadaan pernah membuatku terdampar di Jakarta. Kota sejarah kelahiran dan pertumbuhanmu dari seorang bayi menuju balita, kemudian dari anak-anak menjadi seorang remaja perempuan, hingga akhirnya kini kamu layak disebut wanita.
Aku hanya ingin sedikit bercerita, katakanlah aku curhat tentang betapa tidak serupanya kamu dengan kotamu. Betapa ramahnya kamu ketika berhias senyum, bertolak belakang dengan keangkuhan Jakarta yang menyapaku waktu itu (atau aku yang memang terlalu cupu untuk memijak tanah ibukota?)
Terlalu istimewa rasanya kotamu untuk disinggahi. Sebisa mungkin aku tidak lagi ingin mengunjunginya. Ada ketidakcocokan yang membuat sebagian nalarku berpikir untuk melewatkan persinggahan di kotamu. Cukup kali itu saja aku datang dan memijak tanahnya. Dan aku bertanya, mengapa kita tidak bisa bertemu kala itu? Padahal ada banyak waktu yang pernah aku habiskan saat singgah di sana. Sebesar dan sesibuk itukah kotamu hingga untuk saling bertatap barang sejenak saja kita tidak punya waktu?
Sedikit banyaknya aku cukup mengerti tentang kotamu, memang jauh lebih besar dan lebih sibuk daripada kota dimana kita pertama kali bertemu, juga sangat-sangat tidak sama dengan kota kecilku yang letaknya terpencil diapit perbukitan, yang lebih layak disebut desa atau kampung. Dan inilah yang membuat mengapa kadang aku termenung saat melihatmu tersenyum.
Memandangmu tersenyum, kadang aku merasa menjadi seorang pengemis jalanan yang sedang menatap Mega Mall menjulang tinggi di pusat kotamu. Tidak mungkin dapat dimasuki karena mendekatinya saja tidak diperbolehkan, bahkan untuk sekedar membayangkan berada di dalamnya pun sangat tidak layak. Perumpamaan yang mungkin terlalu hiperbola, tapi jika kamu menjadi aku dalam keadaan seperti sekarang, mungkin hal yang sama juga akan meresapi sukmamu.
Kepada Tuhan, dalam beberapa kali kesempatan aku ingin protes. Mengapa harus kamu yang membuatku luluh dan jatuh cinta? Akan sangat menyakitkan nantinya jika kamu akhirnya memilih peraduan lain tempat bersandar, yang tentunya jauh lebih sesuai dengan keadaan dan kehidupanmu sebagai wanita asal ibukota.
Senin, Januari 04, 2016
Kerasionalan Cinta dan Bahagia
Senja ini aku ingin bicara tentang kerasionalan. Tentang kamu yang (sementara ini) memilih aku sebagai tempat peraduan. Entah saat itu secara sadar atau tidak kamu tetapkan hati bahwa akulah yang memang tepat untuk kamu jadikan sandaran ketika lelah, untuk kamu jadikan pelampiasan kala marah, ataupun menjadi sebab-akibat yang membuat kamu tertawa.
Yakinkah kamu tentang kita yang sedang jatuh cinta? Tidakkah nanti ada sesuatu yang mungkin saja kamu sesali? Atau apakah jika terus bersamaku kamu siap dengan semua konsekuensi? Aku tidak bisa berjanji tentang kemewahan karena aku pun juga berjuang agar hidupku setidaknya tidak menderita. Aku hanya punya satu kata yang bisa membuatku bangga, Setia. Lalu dengan kata 'setia' kamu akan terus bersamaku? Tentunya tidak !!! Kerasionalan tidak melulu tentang kesetiaan. Bahkan kesetiaan tidak termasuk dalam bagian dari kerasionalan bagi sebagian besar hal.
Sadar, aku bukan yang terbaik meski berharap banyak agar semua tetap berjalan seperti ini. Tapi aku juga tahu diri jika memang seandainya ada yang lebih baik yang ingin kamu pilih. Melepas cinta untuk kebahagian seorang yang disayang adalah satu-satunya pengorbanan yang dapat aku lakukan. Terkhusus untuk kamu yang telah banyak memberikan warna. Sebebas-bebasnya aku akan berikan ruang untukmu melangkah ke segala arah. Silahkan tatap kemana sekiranya langkah akan membawamu bahagia. Apapun itu, aku akan berusaha tersenyum ketika kamu tengah bahagia.
Mungkin kamu bingung dengan kata-kataku yang sedikit berbelit-belit. Memang susah, aku yang sangat mengerti pun merasa bingung bagaimana cara mengungkapkannya. Ada satu hal penting tentang kerasionalan yang ingin aku bahas bersamamu. Hanya saja aku terlalu kaku untuk itu. Rangkaian kata yang aku pelajari semalaman suntuk untuk mulai bicara di hadapanmu, tiba-tiba tak bisa terlukiskan oleh mulut saat kita bertemu. Maaf, tapi beginilah adanya aku.
Langganan:
Postingan (Atom)