Rabu, Februari 12, 2014

Menyakitkan dan Sebuah Penantian

                
Ini adalah sedikit kisah pahit yang membumbui perjalananku di masa putih abu-abu beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya, kin aku duduk di bangku kuliah Universitas Brawijaya Malang semester 1 di jurusan agroekoteknologi. Jurusan yang sampai sekarang belum aku ketahui kedalamannya, karena dari awal, sejak SMA dulu tujuanku adalah Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Dan sayang sekali kini sepertinya sudah benar-benar aku lepaskan. Dan mulai ikhlas untuk menjalani duniaku yang ada saat ini.
                Berbicara tentang kisah pahit di SMA, sangat tidak mungkin untuk lepas dari kehadiran seorang wanita. Kaum hawa yang begitu berpengaruh banyak terhadap roda kehidupan siapapun di atas dunia ini. Tidak mengnal kasta, jabatan dan juga tempat, bahkan umur sekalipun. Lawan jenis ini selalu menjadi sebuah pengaruh dan magnet.
                Seorang wanita berparas manis dan berkaca mata telah mngusik kehidupan remajaku. Masa-masa di mana kelabilanku benar-benar sedang di uji. Masa di mana banyak orang mengatakan kehidupan terindah sedang dijalani. Dan begitulah, wanita berkaca mata itu adalah bumbu dalam kisah hidup dalm 2 tahun terakhir aku berada di SMA.
                Memang sudah sangat familiar wajah itu. Wajah yang sering tertunduk saat berjalan, dan suara lembut yang keluar dari bibir mungilnya. Adalah tetangga kelas ketika aku masih berada di tahun awal perjalananku selama ditutupi kain putih dan abu-abu. Tidak kenal, dan sama sekali tidak ada rasa. Hanya saja sebuah ketertarikan untuk memandangnya lebih lama. Mungkin juga sebuah keinginan untuk saling beradu tatap dengannya. Namun sangatlah mustahil ketika itu. Berjalan dengan wajahnya yang hampir selalu tertunduk, membuat sebuah kemustahilan itu seolah memang benar-benar nyata. Mustahil mata elegan itu akan beradu tatap dengan mataku yang hamper selalu dengan ekspresi sayu seperti orang habis begadang dan kehilangan sandal.
                Ya, mungkin memang tidak ada kesempatan, tapi paling tidak aku bisa melihatnya hampir setiap hari. Hanya melihat !! tidak ada yang lain. Cukup sekedar memandang saja. Dan begitulah kehidupan berlalu setiap hari di tahun awal ku sebagai seorang siswa Sekolah Menengah Atas. Masih dalam tahap perkenalan kata mereka yang sok menjadi penguasa saat MOS dulu.
                Setahun habis hanya untuk melihat dan menatap saja. Lebih parah lagi, tidak ada balasan sama sekali. Dan juga orang yang di maksud tidak mengetahui apa yang terjadi, sehingga tidak ada balasan sama sekali. Memang butuh perjalanan panjang untuk semua itu. Bahkan ketika sudah tidak lagi menjadi yang terbawah. Ketika sudah menduduki kelas XI pun, tidak ada perkembangan yang terlalu berarti. Hanya saja, kini aku bisa melihatnya lebih dekat dan mengetahui namanya. Jujur selama satu tahun penuh aku mengamati gadis itu, tak pernah aku tahu siapa namanya, di mana rumahnya, apalagi mengetahui lebih jauh tentang hal yang lebih pribadi.
                Kini sudah tidak lagi menjadi yang terkecil. Satu angkatan kakak kelas telah angkat kaki dari sekolah ini. Ada keluarga baru. Namun yang terlihat di awal tetaplah menjadi sebuah daya Tarik yang jauh lebih kuat. Betapa rasa itu sungguh tak bisa hilang, apalagi kini, setelah naik kelas, sesuatu mulai berpihak, kami di tempatkan di kelas yang sama. Dan perjuangan serta kisah pun di mulai dari sini.


                Tidak terjadi apa-apa sama sekali ketika di bulan-bulan awal kelas XI di mulai. Hanya pembuatan struktur dan pemilihan petinggi-petinggi kelas. Semua seolah focus pada tujuan utama mengapa mereka berada di sini. Motivasi kuat sedang melanda ketika itu, Melihat kakak-kakak kelas mencoret baju dan kini mereka berada di Universitas TOP negeri ini. Semangat untuk segera menyusul mereka sedang terpatri dalam hati yang kini menguasai jiwa. Rasa persaudaraan dan semangat solidaritas juga sedang hadir di Antara kami, meskipun ketika itu taka da seorangpun yang menyadari akan hal itu.
                Beberapa saat lamanya kami terfokus, tanpa selingan, dan tanpa hiburan kecil. Sebelum akhirnya, sahabat karibku kini, yang dulu adalah orang yang aku benci bersama kawan kelasku yang lama, membuka sebuah cerita yang akhirnya menjadi sebuah kisah yang benar-benar indah apabila kini aku mengingat hal itu.
                Orang jahil ini secara tidak sengaja mengetahui, bahwa tatapanku kini sedang menuju kepada seorang di pojok sana, yang sedang menulis, entah apa yang di tulisnya, karena ketika itu adalah jam istirahat. Mulutnya yang lumayan lebar dan sedikit tidak bisa ditahan membuka semua rahasia yang selama ini aku pendam sendiri. Meskipun tak pernah kuberi tahu, namun yang ada di hati tetaplah tidak bisa dipungkiri. Dan itu membuat aku terdiam ketika candaan dan sedikit lelucon mulai datang dari mereka. Antara aku dan wanita itu tentu saja.
                Sejak saat itulah, mungkin juga karena efek dari lelucon yang emnggerayangiku setiap hari, rasa itu mulai muncul. Tidak lagi sekedar ketertarikan untuk melihat, namun kini rasa yang lain, yang lebih ingin dekat, sepertinya mulai hadir. Dan kemungkinan itu semua membuatku menjadi lebih bersemangat melangkah ke lahan seluas sekitar 100 m2 itu. Hari-hari indah kini sedang aku lalui. Meski tidak banyak waktuku yang habis bersamanya, melihat senyum dan matanya setiap hari sudah membuatku jauh merasa lebih senang. Ada beberapa momen ketika hanya aku dan dia, hanya aku dan wanita berkaca mata itu, namun tak pernah rasa yang ada itu terungkap. Selalu terpendam dan tidak ada keberanian untuk menyatakannya.
                Respeknya yang juga tidak terlalu baik terhadap yang tengah aku rasakan, semakin membuat rasa itu semakin tak berani muncul. Selalu saja jutek, dan sangat jarang untuk mau berbicara denganku. Sejak itulah bumbu-bumbunya mulai masuk dan menjadi lika-liku dalam perjuanganku. Tidak ada respek sama sekali. Membuat rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi merenggut pikiran jernihku saat itu.
                Berbagai hal bahkan sampai aku pelajari di internet. Termasuk tentang wanita. Mengetahui karakter seorang wanita, yang kemdian aku hubungkan dengan ilmu kejiwaan dan juga psikologi, jurusan yang ingin aku masuki setelah tamat SMA. Sama sekali bukan untuk menentukan dia waras atau tidak, hanya sekedar cerminan awalku sebagai calon psikolog (gagal) bagaimana aku mengetahui, karakter, pikiran dan kepribadiaan seseorang.
                Aku terus berusaha, terus mencoba mendekati di tengah rasa takut dan minder yang juga kadang hadir setengah-setengah. Beberapa bulan lamanya perjuangan tanpa hasil itu berlanjut. Dan kelelahan mulai terasa ketika itu, ketika sebuah kalimat keluar dari bibir mungilnya. Kalimat yang jarang ia keluarkan untukku, dan sekali keluar ternyata cukup untuk membuatku terhenyak dan berhenti sejenak untuk mengejarnya. Tidak ia sadari bahwa sebenarnya cukup menyakitkan yang aku rasa tidak perlu ia keluarkan, meskipun kadang aku memang juga tidak tahu diri akan keinginanku yang ingin mendekatinya terus-menerus. Tapi paling tidak ia bisa sedikit menghargai apa yang au rasakan.
                Dan aku mulai menjadi seorang yang bodoh sejak saat itu. Begitu banyak mulut kini yang menyuruhku untuk segera berpaling dan melihat keluar. Dan masih banyak yang lebih baik yang akan kutemukan di luar sana. Kata-kata itu hanya seolah sebuah kesyirikan beberapa orang. Aku sudah tidak sadar, aku tidak lagi bisa memilah, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Memang sejak kata-kata itu ia keluarkan, semua dukungan kini berbalik untuk menghentikanku. Menyruhku untuk membuka mata lebar-lebar, bahwa sebenarnya sebuah penghinaan telah wanita itu lakukan terhadapku. Namun orang yang tengah buta hati ini terus saja mengejar dan berharap, menanti entah sampai kapan, meluluhkan hati sekeras batu yang tak tahu kapan berakhirnya. Banyak orang telah menasehatiku untuk tidak lagi mengejarnya, namunentah mengapa, seolah ini adalah sebuah pengujian yang ia lakukan untuk melihat sejauh mana kesetiaanku.
                Pahitnya sudah mulai terasa dan lika-likunya juga sudah mulai aku jalani. Entah dimana letak keindahan putih abu-abu itu yang kata mereka tiada duanya. Mereka yang telah lulus lebih dulu berkata demikian, namun yang aku rasakan sekarang?? Bertolak belakang. Sama sekali tidak ada kemiripan Antara yang diucapkan mereka yag telah lulus dengan yang aku alami saat ini.
                Wanita itu membuatku frustasi. Senyum manisnya memang membangkitkan semangat, namun sama sekali tak dapat aku miliki. Tatapan bola matanya di balik kacamata itu sungguh menawan, namun tak pernah lahir untukku. Aku hanya mendapat jutekan, cemberut dari wajah manisnya, dan tatapan kebencian yang selalu ia lemparkan. Seolah aku orang tak punya harga diri yang terus saja mengejar. Mendapatkan sesuatu yang sudah tak mungkin.
                Ini begitu menyebalkan ketika itu. Bahkan ketika naik kelas pun, tidak pernah sama sekali secercah harapan itu lahir. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan menawan, dan tidak ada raut wajah bersahabat untukku. Namun entah mengapa, tidak ada kebencian yang muncul kepadanya atas semua itu. Selalu saja, yang hadir dalam pikiranku adalah, ‘ia hanya sedang menguji seberapa besar kesetianku’. Dan betapa bodohnya aku ketika itu, masih sempat berpikir demikian yang sama sekali tak ada. Di bodohi seorang wanita yang aku sayang, sungguh sebuah hal yang sebenarnya memalukan, sangat memalukan. Namun kasih yang tulus telah menutupi semua itu. Bahkan menutupi akal sehatku. Sebuah penderitaan yang benar-benar nyata mulai ku alami. Tidaklah menyenagkan mendapat sebuah penolakan, apalgi dengan cara yang tidak bersahabat. Lebih dan terlalu menyakitkan.
                Lalu mengapa kami tetap sekelas ketika sudah berada di kelas XII?? Apakah ini pertanda baik yang akan segera menghampiriku? Bodohnya aku ketika itu. BUkan pertanda baik. Sama sekali bukan. Tetapi adalah sebuah hal yang benar-benar menghancurkanku. Lebih parah dan lebih berat lagi yang aku alami. Rasa itu tak kunjung hilang, membuat aku tetap saja mnjadi seorang tak punya harga diri.
                Sama sekali bukan pertanda baik, namun ini adalah derita baru yang lebih menyakitkan. Beberapa saat lamanya di kelas tingkatan Terakhir itu, wanita itu, yang selama ini menjadi tujuan persinggahan hatiku, kini telah memiliki hubungan spesial dengan seorang di kelas itu. Betapa menyakitkan melihat kemesraan mereka umbar di depanku. Tidak sekedar kemesraan, namun seorang di balik kemesraan itu. Yang membuat aku benar-benar down ketika itu. KAwan dekatku, teman seperjuanganku selama ini dalam kegiatan ekstrakurikuler. Di mana kami sudah mengetahui luar dalam satu sama lain. Sungguh biadab mereka ketika itu. Hampir saja air mata jatuh saat mereka tengah berada dalam kemesraan. Namun kini, sebuah kekuatan mulai hadir. Logika mulai masuk ke kepalaku. Dan aku mulai sadar akan semuanya.

                Tapi sesadar-sadarnya aku ketika itu, rasa ini tetaplah tidak bisa berbohong. Senyum mulai bisa aku layangkan ketika melihat mereka kini telah berada dalam sebuah genggaman tangan. Jauh di dalam, hati ini tetap bertekat, bahwa penantian akan menjadi temanku kini. Kesepian tidak akan menggoyahkanku untuk sebuah penantian yang tak tahu kapan akan berakhir. Yang pasti rsa itu kan selalu ada dan akan selalu tertanam pada tempat yang sangat special. Untukmu yang meiliki senyum indah, yang untukmu yang memiliki bola mata menawan dan untukmu yang memiliki wajah anggun penuh pesona. Suatu saat persinggahanmu akan aku tempati dan akan menjadi milikku. Persiapkanlah sebaik  mungkin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar