Ini
adalah sedikit kisah pahit yang membumbui perjalananku di masa putih abu-abu beberapa
bulan yang lalu. Sebelumnya, kin aku duduk di bangku kuliah Universitas
Brawijaya Malang semester 1 di jurusan agroekoteknologi. Jurusan yang sampai
sekarang belum aku ketahui kedalamannya, karena dari awal, sejak SMA dulu
tujuanku adalah Jurusan Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Dan sayang sekali
kini sepertinya sudah benar-benar aku lepaskan. Dan mulai ikhlas untuk
menjalani duniaku yang ada saat ini.
Berbicara tentang kisah pahit di SMA, sangat tidak mungkin untuk lepas dari kehadiran
seorang wanita. Kaum hawa yang begitu berpengaruh banyak terhadap roda
kehidupan siapapun di atas dunia ini. Tidak mengnal kasta, jabatan dan juga
tempat, bahkan umur sekalipun. Lawan jenis ini selalu menjadi sebuah pengaruh
dan magnet.
Seorang
wanita berparas manis dan berkaca mata telah mngusik kehidupan remajaku.
Masa-masa di mana kelabilanku benar-benar sedang di uji. Masa di mana banyak
orang mengatakan kehidupan terindah sedang dijalani. Dan begitulah, wanita
berkaca mata itu adalah bumbu dalam kisah hidup dalm 2 tahun terakhir aku
berada di SMA.
Memang
sudah sangat familiar wajah itu. Wajah yang sering tertunduk saat berjalan, dan
suara lembut yang keluar dari bibir mungilnya. Adalah tetangga kelas ketika aku
masih berada di tahun awal perjalananku selama ditutupi kain putih dan abu-abu.
Tidak kenal, dan sama sekali tidak ada rasa. Hanya saja sebuah ketertarikan
untuk memandangnya lebih lama. Mungkin juga sebuah keinginan untuk saling
beradu tatap dengannya. Namun sangatlah mustahil ketika itu. Berjalan dengan
wajahnya yang hampir selalu tertunduk, membuat sebuah kemustahilan itu seolah
memang benar-benar nyata. Mustahil mata elegan itu akan beradu tatap dengan
mataku yang hamper selalu dengan ekspresi sayu seperti orang habis begadang dan
kehilangan sandal.
Ya,
mungkin memang tidak ada kesempatan, tapi paling tidak aku bisa melihatnya hampir
setiap hari. Hanya melihat !! tidak ada yang lain. Cukup sekedar memandang saja.
Dan begitulah kehidupan berlalu setiap hari di tahun awal ku sebagai seorang
siswa Sekolah Menengah Atas. Masih dalam tahap perkenalan kata mereka yang sok menjadi
penguasa saat MOS dulu.
Setahun
habis hanya untuk melihat dan menatap saja. Lebih parah lagi, tidak ada balasan
sama sekali. Dan juga orang yang di maksud tidak mengetahui apa yang terjadi,
sehingga tidak ada balasan sama sekali. Memang butuh perjalanan panjang untuk
semua itu. Bahkan ketika sudah tidak lagi menjadi yang terbawah. Ketika sudah
menduduki kelas XI pun, tidak ada perkembangan yang terlalu berarti. Hanya saja,
kini aku bisa melihatnya lebih dekat dan mengetahui namanya. Jujur selama satu
tahun penuh aku mengamati gadis itu, tak pernah aku tahu siapa namanya, di mana
rumahnya, apalagi mengetahui lebih jauh tentang hal yang lebih pribadi.
Kini
sudah tidak lagi menjadi yang terkecil. Satu angkatan kakak kelas telah angkat
kaki dari sekolah ini. Ada keluarga baru. Namun yang terlihat di awal tetaplah
menjadi sebuah daya Tarik yang jauh lebih kuat. Betapa rasa itu sungguh tak
bisa hilang, apalagi kini, setelah naik kelas, sesuatu mulai berpihak, kami di
tempatkan di kelas yang sama. Dan perjuangan serta kisah pun di mulai dari
sini.
Tidak
terjadi apa-apa sama sekali ketika di bulan-bulan awal kelas XI di mulai. Hanya
pembuatan struktur dan pemilihan petinggi-petinggi kelas. Semua seolah focus pada
tujuan utama mengapa mereka berada di sini. Motivasi kuat sedang melanda ketika
itu, Melihat kakak-kakak kelas mencoret baju dan kini mereka berada di
Universitas TOP negeri ini. Semangat untuk segera menyusul mereka sedang
terpatri dalam hati yang kini menguasai jiwa. Rasa persaudaraan dan semangat
solidaritas juga sedang hadir di Antara kami, meskipun ketika itu taka da seorangpun
yang menyadari akan hal itu.
Beberapa
saat lamanya kami terfokus, tanpa selingan, dan tanpa hiburan kecil. Sebelum
akhirnya, sahabat karibku kini, yang dulu adalah orang yang aku benci bersama
kawan kelasku yang lama, membuka sebuah cerita yang akhirnya menjadi sebuah
kisah yang benar-benar indah apabila kini aku mengingat hal itu.
Orang
jahil ini secara tidak sengaja mengetahui, bahwa tatapanku kini sedang menuju
kepada seorang di pojok sana, yang sedang menulis, entah apa yang di tulisnya,
karena ketika itu adalah jam istirahat. Mulutnya yang lumayan lebar dan sedikit
tidak bisa ditahan membuka semua rahasia yang selama ini aku pendam sendiri.
Meskipun tak pernah kuberi tahu, namun yang ada di hati tetaplah tidak bisa
dipungkiri. Dan itu membuat aku terdiam ketika candaan dan sedikit lelucon
mulai datang dari mereka. Antara aku dan wanita itu tentu saja.
Sejak
saat itulah, mungkin juga karena efek dari lelucon yang emnggerayangiku setiap
hari, rasa itu mulai muncul. Tidak lagi sekedar ketertarikan untuk melihat,
namun kini rasa yang lain, yang lebih ingin dekat, sepertinya mulai hadir. Dan kemungkinan
itu semua membuatku menjadi lebih bersemangat melangkah ke lahan seluas sekitar
100 m2 itu. Hari-hari indah kini sedang aku lalui. Meski tidak banyak waktuku yang habis bersamanya, melihat senyum dan
matanya setiap hari sudah membuatku jauh merasa lebih senang. Ada beberapa
momen ketika hanya aku dan dia, hanya aku dan wanita berkaca mata itu, namun
tak pernah rasa yang ada itu terungkap. Selalu terpendam dan tidak ada
keberanian untuk menyatakannya.
Respeknya
yang juga tidak terlalu baik terhadap yang tengah aku rasakan, semakin membuat
rasa itu semakin tak berani muncul. Selalu saja jutek, dan sangat jarang untuk
mau berbicara denganku. Sejak itulah bumbu-bumbunya mulai masuk dan menjadi
lika-liku dalam perjuanganku. Tidak ada respek sama sekali. Membuat rasa
penasaran yang semakin menjadi-jadi merenggut pikiran jernihku saat itu.
Berbagai
hal bahkan sampai aku pelajari di internet. Termasuk tentang wanita. Mengetahui
karakter seorang wanita, yang kemdian aku hubungkan dengan ilmu kejiwaan dan
juga psikologi, jurusan yang ingin aku masuki setelah tamat SMA. Sama sekali
bukan untuk menentukan dia waras atau tidak, hanya sekedar cerminan awalku
sebagai calon psikolog (gagal) bagaimana aku mengetahui, karakter, pikiran dan
kepribadiaan seseorang.
Aku
terus berusaha, terus mencoba mendekati di tengah rasa takut dan minder yang
juga kadang hadir setengah-setengah. Beberapa bulan lamanya perjuangan tanpa
hasil itu berlanjut. Dan kelelahan mulai terasa ketika itu, ketika sebuah
kalimat keluar dari bibir mungilnya. Kalimat yang jarang ia keluarkan untukku,
dan sekali keluar ternyata cukup untuk membuatku terhenyak dan berhenti sejenak
untuk mengejarnya. Tidak ia sadari bahwa sebenarnya cukup menyakitkan yang aku
rasa tidak perlu ia keluarkan, meskipun kadang aku memang juga tidak tahu diri
akan keinginanku yang ingin mendekatinya terus-menerus. Tapi paling tidak ia
bisa sedikit menghargai apa yang au rasakan.
Dan
aku mulai menjadi seorang yang bodoh sejak saat itu. Begitu banyak mulut kini
yang menyuruhku untuk segera berpaling dan melihat keluar. Dan masih banyak
yang lebih baik yang akan kutemukan di luar sana. Kata-kata itu hanya seolah sebuah
kesyirikan beberapa orang. Aku sudah tidak sadar, aku tidak lagi bisa memilah,
mana yang baik dan mana yang tidak baik. Memang sejak kata-kata itu ia
keluarkan, semua dukungan kini berbalik untuk menghentikanku. Menyruhku untuk
membuka mata lebar-lebar, bahwa sebenarnya sebuah penghinaan telah wanita itu
lakukan terhadapku. Namun orang yang tengah buta hati ini terus saja mengejar
dan berharap, menanti entah sampai kapan, meluluhkan hati sekeras batu yang tak
tahu kapan berakhirnya. Banyak orang telah menasehatiku untuk tidak lagi
mengejarnya, namunentah mengapa, seolah ini adalah sebuah pengujian yang ia
lakukan untuk melihat sejauh mana kesetiaanku.
Pahitnya
sudah mulai terasa dan lika-likunya juga sudah mulai aku jalani. Entah dimana
letak keindahan putih abu-abu itu yang kata mereka tiada duanya. Mereka yang
telah lulus lebih dulu berkata demikian, namun yang aku rasakan sekarang??
Bertolak belakang. Sama sekali tidak ada kemiripan Antara yang diucapkan mereka
yag telah lulus dengan yang aku alami saat ini.
Wanita
itu membuatku frustasi. Senyum manisnya memang membangkitkan semangat, namun sama
sekali tak dapat aku miliki. Tatapan bola matanya di balik kacamata itu sungguh
menawan, namun tak pernah lahir untukku. Aku hanya mendapat jutekan, cemberut dari
wajah manisnya, dan tatapan kebencian yang selalu ia lemparkan. Seolah aku
orang tak punya harga diri yang terus saja mengejar. Mendapatkan sesuatu yang sudah
tak mungkin.
Ini
begitu menyebalkan ketika itu. Bahkan ketika naik kelas pun, tidak pernah sama
sekali secercah harapan itu lahir. Tidak ada senyum, tidak ada tatapan menawan,
dan tidak ada raut wajah bersahabat untukku. Namun entah mengapa, tidak ada
kebencian yang muncul kepadanya atas semua itu. Selalu saja, yang hadir dalam
pikiranku adalah, ‘ia hanya sedang menguji seberapa besar kesetianku’. Dan betapa
bodohnya aku ketika itu, masih sempat berpikir demikian yang sama sekali tak
ada. Di bodohi seorang wanita yang aku sayang, sungguh sebuah hal yang
sebenarnya memalukan, sangat memalukan. Namun kasih yang tulus telah menutupi
semua itu. Bahkan menutupi akal sehatku. Sebuah penderitaan yang benar-benar
nyata mulai ku alami. Tidaklah menyenagkan mendapat sebuah penolakan, apalgi
dengan cara yang tidak bersahabat. Lebih dan terlalu menyakitkan.
Lalu
mengapa kami tetap sekelas ketika sudah berada di kelas XII?? Apakah ini
pertanda baik yang akan segera menghampiriku? Bodohnya aku ketika itu. BUkan
pertanda baik. Sama sekali bukan. Tetapi adalah sebuah hal yang benar-benar
menghancurkanku. Lebih parah dan lebih berat lagi yang aku alami. Rasa itu tak
kunjung hilang, membuat aku tetap saja mnjadi seorang tak punya harga diri.
Sama
sekali bukan pertanda baik, namun ini adalah derita baru yang lebih
menyakitkan. Beberapa saat lamanya di kelas tingkatan Terakhir itu, wanita itu,
yang selama ini menjadi tujuan persinggahan hatiku, kini telah memiliki
hubungan spesial dengan seorang di kelas itu. Betapa menyakitkan melihat
kemesraan mereka umbar di depanku. Tidak sekedar kemesraan, namun seorang di
balik kemesraan itu. Yang membuat aku benar-benar down ketika itu. KAwan
dekatku, teman seperjuanganku selama ini dalam kegiatan ekstrakurikuler. Di
mana kami sudah mengetahui luar dalam satu sama lain. Sungguh biadab mereka
ketika itu. Hampir saja air mata jatuh saat mereka tengah berada dalam
kemesraan. Namun kini, sebuah kekuatan mulai hadir. Logika mulai masuk ke
kepalaku. Dan aku mulai sadar akan semuanya.
Tapi
sesadar-sadarnya aku ketika itu, rasa ini tetaplah tidak bisa berbohong. Senyum
mulai bisa aku layangkan ketika melihat mereka kini telah berada dalam sebuah
genggaman tangan. Jauh di dalam, hati ini tetap bertekat, bahwa penantian akan
menjadi temanku kini. Kesepian tidak akan menggoyahkanku untuk sebuah penantian
yang tak tahu kapan akan berakhir. Yang pasti rsa itu kan selalu ada dan akan
selalu tertanam pada tempat yang sangat special. Untukmu yang meiliki senyum
indah, yang untukmu yang memiliki bola mata menawan dan untukmu yang memiliki
wajah anggun penuh pesona. Suatu saat persinggahanmu akan aku tempati dan akan
menjadi milikku. Persiapkanlah sebaik
mungkin.