Sediakan sedikit waktumu, sama sekali aku tidak akan minta banyak. Cukup di
penghujung senja saja, atau saat beberapa menit setelah hujan reda. Itu waktu
favoritku. Waktu damai yang membuat semua perhatianku akan tercurah utuh
kepadamu. Pun kamu menginginkan hal yang demikian juga bukan?
Aku
masih tidak habis pikir dengan yang kemaren kita bicarakan. Aku tidak peduli
kamu menganggap bahwa yang kita bahas itu hanyalah candaan atau memang ada
terbersit niat olehmu. Tentang pertemuan kita yang selanjutnya, apakah masih mungkin
terjadi dengan keadaan yang sekarang ada?
Yang
aku pikirkan, bagaimana aku dan kamu akan menyiasati pertemuan itu? Kita jelas
terbatas oleh 2 kota yang jaraknya berjauhan. Kamu tidak ada alasan untuk
mampir ke kotaku, aku pun tidak punya keperluan untuk singgah di kotamu. Jadi
bagaimana sebaiknya?
Sampai
detik ini kita adalah 2 orang yang masih dalam tahap saling mengenal. Yang akan
muncul jika aku datang ke kotamu atau kamu mampir ke kotaku hanyalah
kecanggunan. Dan kita bertemu untuk sebuah kecanggungan? Jelas tidak. Tidak ada
orang yang mau terjebak dalam kecanggungan.
Lagi pula, katamu
kamu pendiam, maka apa pula yang akan terjadi jika dua orang pendiam yang baru
kenal tiba-tiba bertemu? Dapat kamu bayangkan bagaimana mencekam dan
membosankannya suasana yang nanti tercipta?
Yang
kupaham, ini adalah permainan waktu, yang sudah berkolaborasi apik dengan cara
kita memainkan keadaan, memerankan diri, dan mencoba saling memasuki dan
mengenal. Kamu paham maksudku? Aku rasa tidak, maka baiklah, akan kujelaskan
dengan bahasa yang semoga lebih mudah kamu memahaminya.
“Aku percaya bahwa setiap pertemuan mempunyai
kelanjutan. Karenanya, jumpa kita beberapa waktu yang lewat akan terulang lagi
suatu hari. Tempatnya sudah berbeda, dan suasanya pun tidak lagi sama. Kita
akan bertemu lagi untuk sebuah alasan yang lebih kuat. Tunggu saja tanggal
mainnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar