Rabu, Juni 08, 2016

Pertanyaan Hana

. . . . . .Sambungan

"Kau lihat perempuan cantik di ujung jalan itu?"

Aku mengangguk mengiyakan. Bukan mengiyakan kecantikannya, tetapi mengiyakan bahwa aku melihat juga apa yang sedang dia lihat.

"Bagaimana menurutmu?" Tanyanya.

Aku mengangguk. Setuju, bahwasanya setelah diperhatikan agak lama perempuan itu wajahnya enak dipandang. Meneduhkan mata.

"Pilihanmu oke juga." Kataku.

"Tapi pilihan dia yang tidak oke jika menerimaku." Fadli merendahkan dirinya sendiri.

Terbahak aku mendengarnya. 

"Jadi kapan akan dieksekusi?" Tanyaku.

Fadli diam sejenak. Nafasnya pun berhenti beberapa saat. Mungkin pertanyaanku barusan menyinggung hatinya. 

"Ayolah kawan." Kataku merangkul pundaknya.

"Mari pulang saja." katanya berbalik.

Aku tidak langsung mengikuti Fadli. Mataku tertarik memperhatikan perempuan yang tadi kami bicarakan. Perempuan itu baru saja menyeberang, beberapa detik lagi akan berjalan di depanku. Memang manis terlihat. Semakin dekat, semakin teduh mata dibuatnya. Wajar saja Fadli minder, pasti banyak laki-laki lain yang juga tertarik pada perempuan itu.

"Hana." Panggilku.

Perempuan itu menoleh. Awalnya dia menengok ke tenggara, padahal aku berada di timurnya. 

"Hana." sekali lagi kupanggil.

Kali ini dia menoleh ke arah yang benar. Langsung tersenyum ketika dilihatnya aku melambaikan tangan.

Tampak dia berpikir sejenak, kemudian berteriak agak kencang hingga Fadli yang sudah beberapa langkah berada di ujung sana mendengar dan berbalik.

"Mas Yudha!!!" sapanya setengah berteriak.

Kami bersalaman lalu saling bertanya kabar. Di ujung jalan sana Fadli tampak mentap dengan wajah heran. 

"Kok ada di sini Mas? Lagi ngapain?" Tanya Hana padaku.

"Liburan."

"Ada teman di sini?"

"Itu." Aku menunjuk seorang yang masih menatap heran di ujung sana.

Wajah Hana berubah seketika.

"Itu temen Mas Yudha?" 

Pertanyaan Hana nadanya sangat jelas berharap, meyakinkan hatinya bahwa jawabanku adalah salah. Nyatanya jawabanku adalah sebuah kebenaran yang sangat mutlak. Fadli adalah temanku. Bahkan kami sudah saling kenal semenjak kata perkenalan belum dapat kami definisikan. Kupanggil bocah mancung yang mirip Iko Uwais itu jika kepalanya botak. Agak ragu dia melangkah namun akhirnya sampai juga. Sementara di depanku Hana menunduk menatap tanah berordo Vertisol yang sedang mengembang akibat panasnya cuaca.

"Hana." Sapa Fadli malu-malu.

Tampak enggan Hana membalas. Namun akhirnya dia tersenyum juga.

"Pilihanmu oke juga, Fad." Kataku membuka kartu.

"Maksudnya Mas?" Hana yang belum nyambung dengan arah pembicaraanku bertanya spontan.

Dilihatnya Fadli yang tersenyum, agak kencong bibirnya. 

Tidak banyak Fadli berkata. Hanya tersenyum saja dia kepadaku dan Hana. Mungkin dalam pikirannya sedang berjubel banyak pertanyaan, salah satunya "Mengapa kau bisa kenal Hana juga, Yud?"

Bersambung. . . . . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar