Jumat, Juni 10, 2016

Buku Merah


. . . . . . Sambungan

"Masih mau bertahan?" Tanya Rivi padaku.

Saat itu kereta cepat dari Jakarta menuju Bogor baru saja memulai larinya.

Aku duduk diam, bersandar di dinding kereta dan membelakangi jendela, setengah mengarah badanku pada Rivi.

"Dia itu keluarga berada, nggak cocok sama kamu." Tambahnya lagi.

Kata-kata Rivi itu menyakitkan. Seolah ada kasta yang sengaja diciptakan Tuhan untuk membeda-bedakan, untuk mengubur mimpiku yang hanya laki-laki miskin untuk dapat bersama Citra di masa depan. Tetapi memang harus kuakui kebenaran apa yang dikatakannya. Citra lahir dari keluarga berada yang semua kebutuhannya terpenuhi, pastilah keluarganya juga berharap kelak Citra akan bersanding dengan laki-laki yang setidaknya setara dengannya.

"Kamu realistis aja sekarang, ini bukan masa kuliah lagi. usiamu dan Citra sudah layak untuk menikah. Citra itu perempuan, dia gak bisa nunggu lama-lama. Apalagi ketidakjelasanmu yang kayak gini."

Rivi tampaknya kesal dengan sikapku yang hanya diam dan keras kepala. Sama sekali tidak menghiraukannya yang sudah mau menemaniku dan malah menikmati dunia dalam alam pikirku sendiri.

Aku sadar apa yang sebenarnya kini terjadi. Dan seharusnya aku tidak kaget. Ini sudah terprediksi, bahkan jauh sebelum aku melangkah lebih jauh dengan Citra. 5 tahun lalu, ketika aku menyatakan perasaan kepada Citra, aku sudah menyadari bahwa kami berasal dari latar belakang berbeda yang sulit dibersamakan. Sudah tergambar dalam kepalaku bahwa besar kemungkinannya peristiwa ini akan terjadi, dan benar saja hari ini terjadi.

"Bukankah menikah sebelum mapan itu dianjurkan?"

Rivi hanya menarik nafas menanggapiku. Tarikan yang lebih dalam dari biasanya.

"Lagipula apakah mungkin mencari yang sempurna, jika kesempurnaan itu akan ada setelah menikah?"

"Alah, omongan bulshit itu Ga!!!" Rivi setengah berteriak.

"Semua orang tua pingin anaknya nikah sama laki-laki yang benar-benar bisa menafkahi. Bukan dengan seorang yang masih terkatung-katung hidupnya." Menusuk sekali kata-kata Rivi.

"Kamu punya apa? Dan kamu bisa apa buat ngajak Citra nikah?" 

Rivi tidak berhenti memberondolku. Bukannya menghibur dan menguatkan, dia malah semakin menjatuhkan. Hingga kereta tiba di stasiun Bogor, ocehan Rivi tak kunjung berhenti, untung saja ada sedikit tragedi pencopetan di stasiun sehingga perhatiannya teralihkan melihat orang-orang yang saling kejar. 

Malam sebelum mataku dapat terpejam, kuraih buku bersampul merah yang sudah agak lecek tampilannya. Dalam buku itu ada tulisan Citra, tentang apa yang dirasakannya ketika sedang menulis, dan juga tentang rencana masa depan yang akan ia arungi. Memang pernah ada tulisan Citra bahwa ia ingin menikah di usia maksimal 25 tahun. Harapan-harapan masa depan Citra yang sengaja ia tulis di bukuku dimaksudkan sebagai penyemangat, bahwasanya aku punya batas waktu jika ingin menyeriusi hubunganku dengannya. 

Dan kini aku kehabisan waktu, kami sama-sama memasuki usia 25 tahun. Persyaratan yang dulu Citra ajukan belum mampu aku penuhi, bahkan masih sangat jauh. 2 tahun lalu seorang pria yang bekerja di Bursa Efek melamarnya, namun Citra menolak. Entah apa alasan yang sebenarnya, yang jelas Citra menepati janjinya untuk menunggu hingga batas waktu yang dia tulis. Batas Waktu itu berakhir hari ini. Dan aku sudah tidak lagi punya kesempatan. Semua rencana yang kutulis di lembar belakang buku merah itu tak sudah expired

Malam itu aku menangis untuk kegagalanku. Untuk kegagalan mengutuhkan Citra dalam menjalani hari bersamaku.

                                                                             ********

"Apa Kabar Ga." Sapa Profesor Ingga di ruangannya.

Sejenak kuperhatikan ruangan itu, tidak banyak yang berubah. Masih ada dispenser, gelas, kopi, dan teman-temannya di pojok kiri ruangan. Jejeran skripsi masih ada di rak yang menempel di dinding bagian depan. Hanya kini mejanya berganti meja jati yang lebih mewah dengan warna yang lebih terang.

"Alhamdulillah Baik, Bu." jawabku.

Sesuatu disodorkan Prof Ingga kepadaku.

"Apa ini Prof?" Spontan aku bertanya.

"Baca dulu sebelum bertanya!!" Nada Prof Ingga agak tinggi. Kebiasaannya ternyata tidak berubah. beliau selalu marah ketika seseorang bertanya sebelum berusaha mencari tahu.

Dengan khidmat aku membacanya. Sejenak setelah selesai, aku menatap Prof Ingga yang sudah semakin keriput wajahnya.

"Kamu tertarik?" Tanya beliau.

"Ini kan. . . . ."

"Ini tawaran yang dulu kamu tolak. Sekarang bagaimana bahasa Inggrismu?" beliau memotong pertanyaanku.

"Sudah lebih baik." Jawabku mantap.

"Artinya kamu bersedia?" Prof Ingga memastikan.

"Why not." Jawabku memamerkan sedikit bahasa Inggris-ku.

Prof Ingga tertawa. Berkas yang disodorkannya diberikan padaku agar dipelajari. Dan aku pun pamit.

Aku meninggalkan ruangan itu.

"Eh, Ga, kamu sudah menikah?" tanya beliau ketika aku belum hilang sempurna dari balik pintu.

"Kalau saya menikah, anda pasti saya undang Prof." jawabku

Beliau tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Pintu ruangan kututup rapat dan aku melangkah pergi dari gedung 3 lantai itu.

                                                                         ******

Dalam kontraknya tertera bahwa membawa keluarga diperbolehkan. Semua biaya perjalanan dan kehidupan ditanggung. Namun ketika selesai diharuskan untuk mengabdi paling tidak 10 tahun. Aku bergetar membacanya. Satu hal yang menjadi pertanyaan serius, mengapa Prof Ingga menawarkan kepadaku? Memang topik itu mirip dengan penelitianku ketika skripsi, tetapi bukankah ada orang yang jauh lebih berkompeten? Bukankah banyak mereka yang sangat lacar berbahasa Inggris tanpa harus ikut training terlebih dahulu? 

"Ah kesempatan kedua itu memang seringkali ada." Hatiku bergumam sebelum lelap.

Terpikir Citra ketika itu. Setahun tak berhubungan dengannya, bagaimana kabarnya kini? Apakah dia sudah menikah? Atau dimana dia sekarang? Ah sudah lama ternyata, hampir setahun tidak saling berbagi kabar. Malam itu kuhabiskan waktu untuk mencari tahu keberadaan dan aktivitas Citra selama setahun terakhir.

                                                                    *******

Tower megah di pusat kota itu dulu pernah kulihat. Bahkan aku pernah berteduh di bawahnya hingga di usir satpam yang berjaga. Hari ini aku datang lagi. Pukul 11 siang karena besar kemungkinannya aku dapat bertemu Citra saat jam istirahat. Sudah kucari secara detail, dimana ruangan dan keseharian Citra selama bekerja.

"Maaf Pak, kalau belum ada janji, kami tidak bisa mengizinkan anda bertemu Bu Citra." Begitu kata resepsionis kepadaku.

Bahkan untuk dapat bertemu Citra pun aku harus sedikit berjuang. Hingga akhirnya baru dapat kutemui ketika sore sebelum jam 5. Itu pun karena tak sengaja berpapasan di depan lift. Saat kusapa Citra tampak tidak menunjukkan bahagia bertemu denganku.

"Eh, Haga. Ada apa Ga?" Datar sekali.

Aku maklum karena mungkin dia sudah melupakanku dan mungkin juga sudah ada yang menggantikanku. Tetapi ini adalah cara terakhir untuk meyakinkan Citra. Dalam hati aku berdoa, semoga Citra belum menikah, belum bertunangan, atau sejenisnya.

Aku di ajak Citra duduk di cafe lantai 1 di bagian ujung gedung megah 30 lantai itu. Gelagatnya jelas tidak ingin bertemu lama-lama denganku, namun untuk menolak secara langsung agaknya ia cukup keberatan.

"Tapi maaf ya Ga, aku gak bisa lama-lama. Masih ada perlu di luar." Katanya.

Aku tersenyum.

"Cit, seandainya masih ada kesempatan, aku masih berjuang setahun terakhir ini. Stahun kita gak saling ada kabar aku masih. . . . . ."

Kukatakan sembari mengeluarkan berkas yang beberapa hari lalu kuterima dari Prof Ingga. Kubuka halaman yang berisi kontrak kerja berikut persyaratannya, kuhadapkan ke Citra.

Lama Citra terpaku, ia menunduk membaca. Beberapa menit kutunggu, namun kepalanya tak juga mendongak. Dalam perkiraanku hanya butuh waktu paling lama 3 menit untuk memahami apa yang kuperlihatkan. Namun melebihi 5 menit Citra masih terpaku menunduk.

"Cit."

Citra kemudian melihat ke arahku, menutup berkas-berkas itu dan menaruhnya di atas meja. Matanya berkaca, namun tidak lama berubah menjadi air mata yang banyak, mengalir bak sungai berpola dendritik di pipinya.

Bersambung. . . . . . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar