Sabtu, Juni 11, 2016

Ayah, Simbol Perjuangan untuk Pendidikan

Latar tempat dan saksi bisu perjuangan Ayah

Tanyakan saja, siapa saat ini orang yang berada dalam daftar kemarahanku. Aku tidak akan berbohong, bahwa keluarga ayah adalah yang paling sulit untuk dijamahi kata maaf. Bukan aku tidak menghormati mereka, tetapi kemiskinan yang Ayah terima sebagai takdir hidup, yang bertolak belakang dengan kehidupan mereka yang berada, telah menimbulkan cerita yang tidak harusnya terjadi. Bahwasanya harta telah berpengaruh begitu besar, mengucilkan ayah dari kehidupan. Lagi pula mereka semua hidup di perantauan yang disadari ataupun tidak, tingkatnya sedikit lebih tinggi. Hanya ayah yang bersedia tinggal di rumah, menjadi petani kecil dan menggarap beberapa petak lahan untuk memenuhi kebutuhan.

Aku tidak mengerti bagaimana kisah masa lalu ayah dengan saudaranya, hanya saja apa yang akhir-akhir ini terjadi, membuat aku merasa iba akan keadaan ayah. Mereka tidak tahu bagaimana ayah kini berjuang, kalau saja mereka yang kini berada di posisi ayah, aku yakin tidak satu pun dari mereka yang sanggup.

Ayah tak begitu tinggi pendidikannya, tetapi beliau sadar betul betapa pendidikan itu teramat penting. Beliau juga tahu bahwa pendidikan itu mahal, namun tetap yakin bahwa untuk pendidikan, apapun kesulitannya pasti ada jalan. Termasuk saat saudara-saudaranya sendiri mematahkan semangat ayah untuk membiayai kuliahku di Jawa.

"Ayah tidak bisa menjanjikan bahwa kamu akan hidup nyaman dan berkecukupan selama di sana, tetapi ayah janji selama kamu kuliah, ayah tidak akan berhenti mencari biaya, ayah akan berusaha."

Kata-kata itu yang membuat aku teramat kagum pada ayah, pasalnya kehidupan kami saat itu adalah kehidupan yang sangat susah dari segi ekonomi. Tanpa beasiswa, ayah berani memberangkatkanku ke Jawa guna melanjutkan pendidikan ke tingkat Universitas. 

"Kita sama-sama berjuang, kamu berjuang di sana untuk kuliah, kami di sini berjuang untuk biaya kuliahmu."

Selama 3 tahun terakhir, ayah menunjukkan powernya yang luar biasa. Di tengah tanggungan ekonomi yang menghimpit, diantara cemoohan, dan penjatuhan yang dilakukan saudara-saudaranya, ayah ternyata mampu bertahan dengan tetap tersenyum, meski dengan keadaan yang dapat kubilang mengenaskan. Dari subuh hingga malam ayah bekerja, lelah yang beliau rasa tidak pernah terloncat diucapnya saat menelfon, beliau selalu menunjukkan nada ceria dalam setiap katanya. 

"Muhammad saja menyuruh ke Cina untuk menuntut ilmu, dan itu dari Arab, tidak tahu berapa lama baru sampai di sana dengan keadaan yang ada di zaman itu, ini kamu hanya dari Sumatera ke Jawa, belum ada apa-apanya. Setengahnya saja belum."

Semangat Ayah yang begitu keras, namun dengan cemoohan saudaranya yang tak kalah kuat, serta cara licik mereka menjatuhkan Ayah dengan mengucilkan bahkan memiskinkan, telah melahirkan sedikit butiran kecewa yang berlanjut menjadi benci kepada mereka. Mereka mencemooh dan menjatuhkan Ayah ketika mengambil keputusan untuk menyekolahkanku ke Jawa (saat itu aku lulus SBMPTN di salah satu Universitas Negeri di Jawa). Tentu saja cemooh karena Ayah miskin. Mereka takut jika ditengah jalan Ayah akan mengadu dan meminjam uang. Tetapi tidak, untuk 3 tahun ini, sekalipun ayah ternyata tidak pernah menghubungi mereka untuk meminjam uang, Ayah lebih memilih mencari biaya dari tangan orang lain yang tidak menyakitkan sikapnya.

"Siapa bilang murah, pendidikan itu memang mahal, tetapi pasti selalu ada jalan buat orang-orang yang mau terus berusaha." Begitu kata Ayah, dikutipnya dari pidato sambutan Bupati pada hari pendidikan beberapa tahun lalu.

Ayah kemaren sore bercerita melelalui telfon. Ayah menceritakan pengalamannya selama membiayai kuliahku dari minggu ke minggu, bulan ke bulan hingga tahun ke tahun. 

"Untuk alasan pendidikan, ayah tidak begitu kesulitan mencarikan biaya. Entah kenapa untuk alasan pendidikan Ayah selalu bisa mendapatkan pinjaman, bahkan tidak hanya kita yang minta dilapangkan, kita juga sudah beberapa kali dapat melapangkan beban pendidikan orang lain walaupun hidup susah."

Satupun tidak terdengar kata keluhan yang nyata muncul. Ayah bercerita dengan nada gembira. Yang terdengar adalah intonasi ceria, curhatan dan semangat dari pengalaman ayah yang berhubungan dengan sesama orang miskin peduli pendidikan.

Untuk saudara ayah yang sukses di perantauan, yang hidup nyaman sebagai pengusaha, yang memiliki jabatan sebagai direktur perusahaan di ibukota, yang duduk elegan di birokrasi pemerintahan, dan yang berprofesi sebagai dosen bergelar doktor (yang seharusnya lebih tahu tentang pendidikan), aku hanya ingin menitip satu pesan sekaligus permintaan yang semoga sampai kepada kalian. Satu saja dan aku rasa itu tidak berat untuk melaksanakannya. 

"Mohon maaf atas semua laku Ayah jika pernah menyinggung kalian. Ayah kini menderita beban moral karena selalu dianggap salah tetapi kalian sendiri tidak dapat menunjukkan kesalahannya. Dan jika saat ini tidak sudi membantu Ayahku dari segi materi, setidaknya tolong jangan sakiti Ayah dengan cara kalian berprilaku dalam keluarga."


"Ayah, Simbol Perjuangan untuk Pendidikan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar