Jumat, November 13, 2015

Tetangga

Fakta bahwa kini ternyata rumah kami berdekatan adalah sesuatu yang membuat aku sedikit terhenyak. Dari awal memang telah aku ketahui bahwa rumahnya berada di alamat ini, tempat berdirinya rumah baru berdesain minimalis yang aku sewa bersama kedua kawanku untuk setahun ke depan. Namun aku tidak sampai berpikir bahwa ternyata rumah kami saling berhadapan. Seringkali setiap pagi saat aku duduk di teras sambil menikmati secangkir kopi dan sebatang rokok dia muncul dari balik pagar rumahnya. 

Hampir dua bulan tinggal di rumah baru, hampir setiap hari pula dia terlihat dalam waktu yang sama. Pagi ketika berangkat ke kampus dan sore ketika pulang dari kampus. Hanya di dua waktu itu aku dapat melihatnya karena ketika sudah masuk dalam rumah, tidak akan muncul lagi wujudnya dari balik pintu kecuali untuk aktivitas selanjutnya. Pintu rumahnya kadang terbuka namun juga tidak terlihat dia berkeliaran di dalam. Hanya terlihat televisi besar 36 inchi di atas buffet bersama dua speaker setinggi tegakku mengapitnya. Ruangan yang dapat terlihat dari rumahku itu selalu tertata rapi dan tidak pernah terlihat berantakan. 

Seharusnya bisa saja aku mampir ke rumahnya sekedar bermain-main karena dulunya kami pernah terlibat keakraban yang sangat dekat. Dulu, sebelum sesuatu hal yang membuat kesalahpahaman diantara kami semakin membesar. Dan jadilah kini akhirnya kami tidak lagi pernah saling menyapa, meski saban waktu tidak sengaja kami berpapasan di jalan dan di kampus atau saling beradu pandang untuk sesaat dalam jarak yang hanya terpisah oleh jalan selebar 4 meter.

Pernah sekali waktu aku tersenyum padanya saat benar-benar tidak ada lagi tempat untuk mengelak. Sedikit senyum dengan kepala yang sedikit kugoyangkan aku menyapanya. Tatap sinisnya menggetarkan hatiku. Dia mengalihkan wajah namun dari sudut bibirnya terlihat seulas senyum yang jelas ingin ditutupi. Aku kemudian berlalu dengan langkah yang sedikit lelah sehabis jogging dan dia juga berlalu dengan sepeda motornya setelah meninggalkan bunyi klakson kecil. Ya, ketika itu kami bertemu di suatu sore dalam keadaan yang sama lelahnya.

Sore di hari berikutnya kami juga bertemu lagi. Bosan karena tidak ada seorangpun di rumah membuat kakiku gatal dan ingin melangkah melihat-lihat keadaan sekitar rumah baru. Aku masuk beberapa blok lalu keluar lagi di blog lainnya. terjadi hingga beberapa kali sampai akhirnya secara tidak sengaja aku tiba di blog ku sendiri yang bahkan tepat keluar di persimpangan samping rumahku.

Seperti yang dapat ditebak, sore itu kami bertemu lagi. Dan seperti biasa seolah tidak ada sesuatu diantara kami, raga berlalu begitu saja ketika berpapasan. Berbelok arah lalu hilang di balik pagar rumah masing-masing.

Tidak, kami tidak melakukan hal itu. Dia berhenti tepat di depan pagar yang sebenarnya sudah terbuka. Dan aku berjalan ke arah dimana dia diam entah menunggu siapa. Teman, pacar atau entah siapa.

Sepanjang langkah aku terus memperhatikan wajahnya yang berekspresi datar dan seolah tidak menyadari ada aku tidak jauh dari tempat dia berada. Padahal dalam kenyataannya, seratus persen keyakinanku mengatakan bahwa dia sedang menunggu tindakan apa yang akan kulakukan. Ya, begitulah perempuan dengan sejuta sandiwara dan permainannya.

Aku menepuk bahunya sambil berkata "Hai, apa kabar?"

Ekspresinya yang seketika berubah membenarkan keyakinanku. Lagi-lagi sifat perempuan yang sulit diterima. Hanya menunggu dan sama sekali tidak mau untuk memulai. Lalu dimana letak ladies first dan emansipasinya? Ah, sudahlah, tidak nyambung.

"Iya baik. Kamu ngontrak di situ?" Dia menunjuk rumah kecil di depan sana. Berbeda jauh dengan rumahnya yang besar dan bertingkat, juga tergolong mewah.

Aku mengangguk. Karena entah kenapa tiba-tiba saja bingung untuk menjawab dengan nada dan pita suara yang bagaimana, sehingga beberapa anggukan adalah pilihan yang paling tepat saat itu.

"Mampirlah ke rumah." Tawarannya kali ini jelas sekali membuktikan yang barusan aku sebut tentang perempuan.

Aku tersenyum karena lagi-lagi bingung harus menjawabnya bagaimana, bukan masalah kata-kata, tetapi lebih pada intonasi dan nada. Karena berbicara dengan orang ini agak sedikit memerlukan ketepatan intonasi. Takut menjadi konflik lagi karena dalam mindset ku warga kota disini (dia salah satunya) terkenal akan keramahannya (sumber: beberapa media cetak dan elektronik plus pengalaman pribadi). Apalagi ada rasa yang sedang singgah diantara kami beberapa saat yang lalu. Entah sampai sekarang dia masih menyimpannya atau sudah tidak lagi.

"Pagar rumahku juga selalu terbuka kalau kamu mau main." Yah, aku mengeluarkan kata-kata yang sangat netral. Terlihat seperti tidak mengajak, tidak berharap dia mampir padahal itulah tujuan utamanya kata-kata ini muncul di hadapannya. Aku rasa aku mulai bisa bersilat lidah bermain kata.

Dia tersenyum. Menatap beberapa saat rumah itu lalu ganti menatapku beberapa detik.

"Sekarang boleh?" Tanyanya.

Kata-kata itu meskipun kelihatannya sangat biasa tetapi bagi orang yang sedang jatuh cinta dan berharap setengah mati adalah sesuatu tak terlukiskan yang bisa jadi lebih indah dari pelangi di langit setelah turun hujan.

"Oke, aku perlu sedikit persiapan untuk menyambut tamu perempuan pertama yang mampir ke rumah." (Bahasaku memang formal untuk menggodanya)

Aku melangkah saat dia bersiap memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia tinggalkan sedikit senyum yang, ah, luar biasa menggoda menggetarkan jiwa. 

Tidak lama dia muncul di depan pagar yang setengah terbuka.

"Boleh aku mampir?" Tanyanya dengan senyum yang lebih lebar daripada beberapa saat tadi.

Saat itu pantatku baru saja menyentuh kursi yang aku duduki. Ada cangkir teh hangat dan spiring biskuit tersaji di meja. Biskuitnya dibeli temanku tadi malam dan kebetulan dia sedang tidak berada di rumah. 

"Silahkan, kebetulan sore ini aku lagi sendiri." Ya, kata-kataku benar-benar mematikan setelah beberapa lama mulutku tak pernah berimprovisasi menggodanya.

Senyumnya kini mulai berubah menjadi tawa. Pintu keakraban kami mulai terbuka kembali. Semudah itukah ternyata? Hanya karena aku menyapa di suatu sore yang terdesak, sikap dingin selama 2 bulan langsung sirna? Begitukah perempuan?

Pertanyaan selanjutnya, apa yang kami bicarakan sore itu?

Jawabannya, "tidak ada yang penting."

Hanya basa basi selama  satu setengah jam aku rasa. Ya satu setengah jam habis untuk sekedar basa basi. 

Magrib menjelang, dia izin untuk pulang. Lagipula terlihat papanya di seberang sana mencuri-curi pandang, entah dengan siapa anaknya kini bercengkrama.

"Tenang Om, Aku ro cah iki anakmu siji-sijine. Tapi aku iki ora wong jahat. Aku konco anakmu. Yo, mugo2 iso dadi mantu mu Om. Sopo sing ero." Begitu hatiku berkata saat tatapan curiga dari seberang sana menyerang kenyamananku berbasa basi.

Sengaja tidak aku beritahu, karena suatu saat aku yakin akan diperkenalkan kepada papanya sekaligus mamanya juga kemungkinan besar. Kan tetangga. :D

Malam hari tiba, selepas Isya kedua orang yang selalu memberantakkan rumah juga belum muncul. Mungkin masih sibuk dengan laporan penelitian dan juga skripsinya. Ya sudahlah, kadang aku memang butuh kesendirian untuk menenangkan jiwa. baru saja berpikir seperti itu, handphone mahalku yang sudah tidak ada bentuknya menerima sebuah pesan?

"Kamu udah makan? Kalau belum, ini aku abis masak, aku antar ke sana ya?"

Rezeki yang pantang untuk di tolak. Sesopan mungkin aku coba untuk menjawab. Tidak berharap dia mengantarkan makan malam, juga tidak mungkin dia untuk membatalkan tawarannya. Jurus-jurus ini aku dapat dari sering membaca beberapa karya fiksi, karena kebetulan perutku sedang berkeroncong minta di isi.

Hanya berselang Lima Belas menit dia tiba di depan rumah. Tanpa permisi dia buka pagar dan masuk lewat pintu depan yang sedikit terbuka. 

"Kamu udah makan?" Tanyaku seolah sok perhatian.

Tersipu malu dia menjawab. "Belum."

Dan aku mengerti akan satu hal kecil lainnya. Ada keinginannya yang sama denganku, yaitu makan bersama. Meskipun tidak di tempat mewah yang penting bersama. Lagipula ini adalah janji yang dulu pernah kami sepakati namun sempat luntur gara-gara kesalahpahaman beberapa saat. Bersyukur saja, karena malam ini terlaksana. Kami makan dengan lauk ala jawa buatannya. 

Kedua temanku datang hampir bersamaan saat kami sama-sama mengunyah suapan terakhir. Mereka tersenyum dan aku perkenalkan kepada (sebut saja perempuanku, karena tidak etis menyebut namanya secara langsung di sini). 

........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................ Aku terbangun karena jam alarm yang bunyinya mengusik telinga. 04.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar