Minggu, November 15, 2015

Janji Kecil

Teringat sesuatu ketika aku terbangun dari tidur di Sabtu pagi yang kosong tanpa jadwal kuliah (Sabtu memang seharusnya libur). Beberapa hari yang lalu, beberapa minggu yang lalu mungkin lebih tepat untuk disebut, secara tidak sengaja kita pernah mengukir janji kecil yang berasal dari tantangan yang sama kecilnya. Semua berawal dari apa yang kamu ceritakan waktu itu. Benarkah bermaksud sekedar berbagi kesah atau merupakan sebuah kode yang ingin kamu lempar agar aku segera bertindak, sampai detik ini belum ada kepastian mana kebenaran yang sebenarnya.

Kode ataupun sekedar curhatan tidak masalah ketika akhirnya kita setuju untuk sekali waktu keluar bersama. Tidak kita sebut kapan dan kemana, hanya ada kata yang sama-sama kita tanggapi dengan anggukan sambil tersenyum bahwa kita akan menghabiskan beberapa saat untuk menciptakan otak dan jiwa yang lebih fresh selepas kesibukan yang teramat padat jadwalnya.

Tapi masih mungkinkah dengan kondisi kita yang sekarang sudah tidak lagi menjalin komunikasi? Kita masih berada di kota yang sama, kita masih sering datang ke kampus yang sama, juga kita masih melakukan aktivitas yang hampir sama. Bukan kesamaan kesibukan dan kegiatan yang aku maksud di sini. Jika ditarik kesimpulannya, kita masih sering bertemu dan sebenarnya ada banyak waktu yang bisa kita sisipkan agak sejenak. Tetapi sampai aku terbangun pagi ini, kita sama sekali tidak melakukannya, mencoba untuk melakukannya pun tidak.

Tiba-tiba saja aku merasa ada yang aneh. Terlalu rempong memang karena jika tidak aku tanggapi pun sebenarnya tidak masalah. Hanya saja kadang-kala ini sedikit mengganggu terlelapnya raga saat malam-malam yang seharusnya diisi dengan membaringkan kepenatan sambil mata terpejam. Apakah ada masalah diantara kita yang membuat kita kehilangan kontak dengan sangat mudahnya?

Menegurmu lewat sapa terasa sangat berat karena kadang ada rasa bersalah yang hinggap. Tetapi salah yang bagaimana? Secara langsung kita tidak pernah bersentuhan dengan hal-hal semacam itu. Atau karena faktor luar yang membuat kamu merasa terpermainkan oleh sikap dan prilaku ku? Bisa jadi dan aku juga yakin itulah penyebabnya.

Lalu, haruskah aku mengatakan bahwa keterlambatan mengenalmu adalah penyebabnya? Perbedaan tingkatan kita dalam hal akademis mungkin harus yang disalahkan meskipun dia tidak mengerti apa-apa. Atau menyalahkan diriku sendiri yang mengapa bisa terjerembab ke kotamu? Jika aku tetap di kotaku dan tidak bandel untuk mengunjungi tempat baru, bisa dipastikan masalah kecil ini tidak akan terjadi. Tetapi itulah rencana Tuhan yang maha luar biasa dan kita dipaksa menjalaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar