Saya
putuskan untuk bicara di sini saja setelah tidak tahu lagi kepada siapa harus bercerita.
Orang tua bukan hal yang tepat untuk tempat mengadu tentang hal ini. Juga tidak
ada kawan yang sepertinya mau mendengar ocehan keluhan dan cerita kegalauan
saya dalam beberapa hari terkahir. Saya seolah telah lama menikmati hari
seorang diri, berlagak berada di tempat baru yang tiada seorangpun mengenali.
Saya ceritakan sekarang
Saat
itu saya sedang rindu kepada seseorang dan kami telah lama tidak bertemu. Beberapa
bulan yang lalu dia pergi ke luar kota dan saya juga. Ya, kami adalah pendatang
di kota ini dan sedang sama-sama meretas jalan menuju pintu sukses. Kami dipertemukan
di sini dengan beberapa cerita. Lalu cerita-cerita itu merangkai rasa dan
getaran yang muncul setiap kali kami bertemu. Perlahan kami menerjemahkannya
dengan cara masing-masing, sendirian. Hingga akhirnya sesuatu hal membuat kami bersatu,
menjalin cinta dan melangkah bersama.
Bulan-bulan
dimana kami tidak bisa berjumpa sebenarnya sudah berlalu sejak dua minggu yang
lalu. Kami telah sama-sama menginjak kota ini lagi, memulai kembali aktifitas dalam
perjalanan menuju sukses yang kami damba. Tetapi kini ada gelagat yang tidak
biasa dan rasanya sedikit aneh. Dia tidak lagi antusias ketika saya ajak
bertemu. Bahkan dalam beberapa waktu dia menolak dengan caranya yang sangat
halus dan terterima oleh logika.
Tetapi
kenapa? Apakah dia sudah tidak merindukan saya lagi? Entahlah. Sebenarnya ini
adalah sebuah prediksi (yang sama sekali tidak diharapkan menjadi
kenyataan) yang dari lama telah tumbuh dalam benak bahkan sejak hari pertama
kami memulai hari. Dia hanya menganggap biasa semua hal yang berkaitan dengan
saya, berbeda jauh dengan saya yang menganggapnya lebih dari sekedar seorang
perempuan baik yang lemah lembut.
Saya
coba untuk melihat beberapa hal yang mungkin bertanggung jawab atas kejadian
ini. Saya sangat paham bahwasanya kami berasal dari latar belakang yang bertolak
belakang. Saya hanya seorang mahasiswa biasa dari pelosok yang berjalan kaki
merambah hutan dan membuat jalan sendiri menuju cita-cita. Sementara dia adalah
pengendara yang menuju cita-cita menggunakan mobil pribadi di jalur cepat tanpa
hambatan. Apakah hal itu memang berlaku sehingga saya tidak layak untuk mewujudkan kebersamaan dengannya?
Namun
setiap hal yang mengatasnamakan cinta bisa membuat semua orang keluar dari
orbit edarannya, membuat mereka lupa akan asal dan tujuan awalnya, membuat
mereka menempuh jalur yang bukan miliknya. Itulah saya saat itu, saat cinta
menusuk relung hati yang tidak mampu saya kendalikan. Dan saya tersadar setelah
terhempas oleh sikap dia yang tidak lagi biasa. Mata saya terbuka untuk bisa
melihat apa yang sebenarnya telah berubah.
Apakah
ini hanya sebuah halusinasi dari bentuk kelelahan hati atau juga mungkin ini
yang disebut dengan kejenuhan? Ah, saya terlalu pusing untuk memikirkannya.
Saya hanya ingin terus dan terus bersamanya hingga nanti kami mendapat sebutan
ayah-ibu dari anak-anak kami, dipanggil kakek-nenek oleh cucu-cucu kami, disebut
pasangan lansia atau manula oleh orang-orang yang terjun ke dunia masyarakat, dan
disebut almarhum/ah oleh orang-orang yang kelak kami tinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar