Dia menungguku
di tangga menuju lantai 3 di sekolah lama kami. Duduk sendirian dengan tas
sandang yang tergeletak disamping kirinya. Terlihat dari kejauhan dia menatap
pergelangan tangan kirinya. Sudah cukup lama menunggu tampaknya. Aku
memperhatikan dia dari gerbang. Dan dia sama sekali tidak melihatku, juga tidak
menyadari seseorang tengah memperhatikannya dari jauh.
Sejenak
ia melepas kacamatanya. Mengusap, lalu kembali memakainya. Saat itu sekolah
masih libur. Tampak sangat sepi. Hanya angin sore yang menemaninya dalam
penantian hari itu.
Sudah
lama aku tak melihatnya. Setahun yang lalu terakhir kali, ketika ia dan ibunya
sedang membeli beberapa keperluan rumah. Ketika itu aku tengah menunggu mobil
yang akan mengantarku ke Bandara.
“Hey
Gi” sapanya
“Cindy”
balasku.
Aku
melangkah kearahnya, dia juga melangkah ke arahku. Kami bertemu tepat di depan
tangga.
“Berangkat
sekarang?” tanyanya
“Iya,
lagi nunggu mobil” jawabku
Kami
diam beberapa saat, memeperhatikan langkah orang-orang yang lewat di depan
kami.
“Cindy,
ayo” Ibunya mengajaknya pergi.
Awalnya
sudah melangkah ke parkiran, lalu beliau melihat Cindy duduk bersamaku di anak
tangga ketiga dari bawah. Beliau berbalik. Sedikit tercengang melihatku dengan
dandanan tidak biasa. Sebuah tas ransel menggelembung tersandang di punggungku,
lalu sebuah koper besar di anak tangga pertama.
“Eh,
Hanagi, mau berangkat sekarang?” Tanya ibunya padaku sambil kami bersalaman.
“Iya
Ma, lagi nunggu mobil jemputan”
Ma,
adalah panggilanku kepada ibunya Cindy, sama seperti dia memanggil Ibunya. Mama
“oh
iya, ada yang kelupaan, mama ke sana sebentar ya” beliau sepertinya mengerti
apa yang terjadi lalu meninggalkan kami berdua.
“Cin,
ntar tunggu di parkiran ya.” Ibunya berlalu, menyeberang jalan lalu masuk dalam
lost pasar yang kini sudah bersih dan tertata dengan sangat rapi.
Sepuluh
menit kemudian, mobil yang menjemputku berhenti di depan kami.
“Sampai
jumpa satu tahun lagi Cin”
Dia
melambaikan tangan. Mobil yang kutumpangi melaju dan hilang di perempatan
menuju Bandara.
Setahun
berlalu. Dia kini duduk menunggu di anak tangga menuju lantai tiga sekolah. Aku
lalu melangkah. Menyusuri bagian samping agar ia tak melihatku. Lebih jauh,
tetapi itu juga lebih baik. Terbayang olehku, setahun yang lalu kami berpisah
di tangga. Dan kini kami akan bertemu kembali di tangga. Meski pada bangunan
yang berbeda.
Tinggal
beberapa meter lagi. Dia masih duduk di sana. Aku berhenti melangkah,
menatapnya sebentar. Tidak ada yang berubah pada wajahnya. Hanya saja kini ia
tampak lebih dewasa.
Derap
langkah pertamaku setelah berhenti terdengar oleh telinganya. Dia berdiri dan
setengah berlari ke arahku.
“Hanagi?”
pekiknya.
Kami
berjabat tangan. Beda tinggi kami ternyata tetap sama seperti dulu. Sangat
dekat saat itu jarak antara aku dan Cindy. Aku kemudian mengajaknya duduk. Dia menuju
tangga dan sampai lebih dulu kemudian duduk di anak tangga ke tiga. Aku
mengikutinya dan duduk di anak tangga ke empat.
“Kenapa
di atas?” tanyanya.
“Ada
yang salah?” Aku bertanya balik.
Dia
menggeleng lalu menengadah melihatku yang duduk lebih tinggi.
Aku sengaja
memilih duduk lebih tinggi darinya, agar lipatan kaki atau lututku dapat
bersentuhan dengan lengannya. Akan terlihat lebih mesra, apalagi jika tangannya
bersandar di pahaku, persis seperti di FTV negeri ini yang ceritanya mudah di
tebak.
Dan
ternyata benar saja. Rasa rindu membuat kepalanya rebah di tubuhku. Aku
merangkulnya. Dulu selama SMA, kami tak sempat melakukan hal seperti ini.
Ketakutanku menyatakan perasaan membuat dia sempat berpaling. Lalu pertemuan
kami di anak tangga pasar ketika itu, membuatku sampai sekarang tidak bisa
melupakannya. Dia sepertinya juga begitu. Perasaanku juga mengatakan demikian.
Jika tidak, mengapa dia saat ini merebahkan kepalanya ke tubuhku, lalu mengapa
ia sama sekali tak menghindar saat aku melingkarkan tangan kiriku di tubuhnya.
Bahkan dia merubah posisi agar kami sama-sama merasa lebih nyaman. Dan yang
lebih nyata, mengapa dia mau menungguku seorang diri di tempat sepi seperti
ini.
“Setahun
berlalu ternyata gak ada yang berubah sama kamu Gi” Dia membuka percakapan sore
itu dalam dekapanku.
“Ada”
jawabku
“Apa?”
tanyanya sambil menengadah, menatap mataku sangat tajam.
Aku
tidak langsung menjawab. Kubalas lebih tajam tatapan matanya
“sekarang
aku berani bilang, kalo aku sayang kamu”
Dia
tersenyum, mencubit perutku dan aku mengerang. Kemudian dia tertawa, lalu aku
mencubit hidungnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar