“Ada yang
berbeda” katanya ketika kami mulai meninggalkan sebuah tempat makan lesehan.
Baru
saja aku dan kawan lamaku di kelas akselerasi semasa SMP melakukan reuni
kecil-kecilan. Saling melepas rindu dan sedikit nostalgia diantara tawa yang
terus berkumandang dari sore hingga malam menyelimuti.
“Apa?”
kataku.
“kamu
bukan Yudha yang ada di SMA” dia berhenti melangkah dan berbalik ke arahku yang
sedikit berada dibelakangnya.
“Terus?”
aku sama sekali tak mengerti maksud perkataannya.
“Ya
beda aja, tadi kamu beda, coba bandingin pas kita nongkrong bareng anak-anak”
dia menarik napas dalam-dalam.
Aku
mencoba mencerna. Anak-anak yang dimaksudnya adalah teman tongkrongan kami
semasa SMA dulu. Sedikit aku mulai mengerti. Yang dimaksudnya adalah aku ketika
bersama kawan tongkrongan dan aku yang saat ini, yang sedang bereuni dengan
anak-anak akselerasi semasa SMP.
“Mungkin,
aku juga ngerasa agak beda” Aku melanjutkan dan melangkah mendahuluinya.
Dia
menyusul dan mengikuti irama langkahku yang terus menjauh dari tempat kami tadi
kami bermain kartu.
“Kamu
ngerasain apa?’ dia bertanya begitu kembali melangkah disampingku.
Aku
berhenti, berbalik menatapnya. Gerimis masih saja terus turun, cahaya lampu
juga sangat jelas menyorot butiran-butiran gerimis yang jatuh menyentuh tanah.
“Aku
ngerasa yang beda bukan cuma aku, kamu juga”
“maksudnya?”
dia tampak bingung.
“Apa
yang kamu pikir tentang aku sama kayak yang aku pikir tentang kamu”
“Oh
ya?”
Tinggal
aku dan dia di tempat itu. Sementara yang lain sudah beranjak pulang dan hilang
di gelapnya malam.
“Udah
pada pulang tuh, yuk minggat” Aku mengubah topik dan mengajaknya pergi
meninggalkan tempat itu.
“Cerita
kita belum selesai lo Yud, kasih tau kalo kamu udah di rumah” Dia lalu memacu
motor maticnya, dan aku menjadi orang yang terakhir pulang malam itu.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
“Udah
di rumah, mau ngapain Mi” sebuah sms kulayangkan ketika aku berbaring di atas
Kasur.
“Aku
telpon ya” balasnya singkat.
Belum
sempat aku membalas, handphoneku berdering. Dia langsung menelpon tanpa
persetujuanku terlebih dahulu.
“ekhm,
aku gak ngerti maksud kamu tadi” dia langsung menuju topic pembicaraan tanpa
sedikitpun basa basi.
“yang
tadi mana?” Aku masih berpikir.
“Apa
yang kamu pikir tentang aku sama kayak yang aku pikir tentang kamu” dia meniru
kata-kataku sekaligus menirukan gaya bicaraku dengan nada yang sangat meledek.
“oh,
emang bener kan?”
“Aku
gak ngerti”
Ternyata
yang aku katakan tadi menjadi bahan yang sedikit mengganggu di hatinya. Kami
merasakan hal yang sama. Tiga tahun bersama selama SMA sudah cukup untuk kami
saling mengerti sifat satu sama lain. Hanya saja semuanya masih terselubung
karena tak pernah tersebutkan oleh mulut.
“Udah
lama aku gak liat kamu ketawa lepas kayak tadi” kataku kemudian.
Dapat
kupastikan dia sedang tersenyum disana. Desahan napasnya yang terdengar jelas
menyatakan bahwa dia setuju dengan opiniku.
“Kamu
juga beda. Gak kayak kalo lagi ngumpul sama anak-anak, lebih banyak diemnya”
Suaranya agak berat, seolah terdengar seperti menahan sesuatu.
“So?”
aku menjawab pendek dan langsung disambungnya.
“Kita
merasakan hal yang sama”
“Udah
aku bilang dari tadi kaan”
Kami
terus membahas apa yang sedang terjadi pada diri masing-masing. Secara tidak
sadar hari ini kami menjelma menjadi seorang dengan jiwa yang berbeda. Bersama
mereka (kelas akselerasi ketika SMP) baik aku taupun dia merasa jauh lebih
menemukan diri kami yang sebenarnya. Tidak ada hal yang membuat kami harus
menahan diri, semua terasa lepas begitu saja.
Kami
terus bicara hingga larut malam. Mungkin tidak disadarinya, bahwa rasa
penasarannya telah membuat aku mengerti akan sesuatu. Tidak selalu jiwa yang muncul
adalah pribadi yang sebenarnya. Terkadang kita memiliki jiwa terselubung yang
tidak selalu muncul tetapi itulah kita yang sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar