Minggu, Desember 08, 2013

Catatan dari Bumi Arema 1

                Paling tidak aku tahu sekarang, dia adalah anak Malang asli. Entah asalnya memang benar-benar dari Malang sejak dulu atau hanya sebagai perantau yang singgah di kota pendidikan dan pariwisata ini. Yang aku tahu hanyalah, dia sebelumnya adalah lulusan dari salah satu SMA di kota ini. Yang letaknya entah dimana tidak aku ketahui. Mungkin sedikit jauh, karena aku sudah sering berkeliling di sekitar tempat aku tinggal dan kampus, tidak pernah aku lihat papan yang menunjukkan bahwa di sana terdapat bangunan yang menjadi bekas tempatnya menuntut ilmu. Mungkin agak berada di bagian tepi, karena brawijaya sendiri terdapat di tengah-tengah kota, dan di kisaran tersebut tak pernah aku melihat bangunan bertuliskan SMA Negeri %-) Malang.
                Mengetahui hal ini, semakin menambah semangat dan dorongan ku untuk mengenal si manis itu. Kulit putih dan hidung mancungnya sangat mempesona apalagi di tambah sebuah senyum yang anggun disertai sorotan mata yang elegan.
                Rencana awal yang aku tulis sebelum menginjakkan kaki di sini sepertinya mulai mendapatkan pintu untuk melanjutkannya. Ketika itu, tepat sehari sebelum berangkat, di tengah dinginnya malam pada hari ke 7 bulan Ramadhan, sebuah bayangan seorang dengan memakai pakaian putih hadir di awang-awang kamarku dan membuat aku tertegun dan fokus ke sana berapa saat. Sebuah pencerahan datang, ketika sebuah kebimbangan masih menghantui akan pilihan dan langkah besar yang akan aku lakukan beberapa saat lagi. ini adalah hari terakhir aku memandangi langit-langit kamar untuk satu tahun ke depan. Dan aku akan pergi meninggalkan tanah kelahiranku, mengikuti jejak pendahulu-pendahuluku yang sudah menjadi kultur dan keharusan, mengikuti pepatah minang yang tidak bertentangan dengan syariat, melangkahkan kaki keluar dari tanah kelahiran, menuju perantauan yang masih gelap, entah bagaimana adat istiadat dan gaya hidupnya orang-orang di sana.
                Semua berkecamuk dalam benak, apa aku memang harus melakukan seperti generasi-generasi sebelum kami bertitah, “ketek di kampuang, gadang di rantau”. Ya, itulah yang di pegang pemuda minang sampai sekarang. Harus meninggalkan kampung halaman, harus meninggalkan orang-orang yang di sayang, harus meninggalkan semua kenangan yang pernah diukir. Dan sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan. Melelehkan air mata tanpa sadar ketika dalam pertimbangan ini.
                Tetapi, bayang-bayang putih di awang-awang tadi, memberikan sedikit inspirasi yang tidak bersebrangan dengan hal-hal yang dititahkan para leluhur. Pergilah merantau, dan akan ada hal baru yang akan ditemukan disana. Pengalaman baru yang akan di dapat yang tidak ada jika hanya berdiam diri di kampung halaman.
                Bayang-bayang itu seperti berkata, inilah yang harus aku lakukan. Ini adalah malam terakhir untuk satu tahun ke depan. Ini adalah sebuah perpisahan sementara. Dan air mata yang mengalir dari orang-orang yang menyayangiku esok hari, adalah awal dari sebuah kebahagiaan yang akan aku antarkan ketika pulang nanti.
                Dan aku terlelap dalam beberapa saat bersama bayangan putih yang menemaniku. Seperti memastikan bahwa ketika bangun esok hari, aku tidak berubah pikiran. Aku akan mengikutinya ke tempat yang tidak aku kenal. Dia menemaniku dalam tidur yang penuh dengan lelehan air mata yang dijanjikannya adalah awal dari sebuah kebahagiaan yang menanti, ketika aku pulang kelak.
                Mata sembabku sulit untuk dibuka ketika ada suara panggilan dari luar kamar untuk bangun. Enggan rasanya karena sudah sangat nyaman. Tidak ingin aku bercerai dengan dipan tua yang menjadi alas tidurku selama 18 tahun ini. Namun lagi-lagi, bayangan tadi hadir kembali disaat mataku belum terbuka sepenuhnya. Memberikan semangat dan sebuah pengharapan. Dan mengingatkan bahwa ini adalah sahur terakhirku di sini dan kembali untuk satu tahun ke depan. Seakan selalu membayangi agar aku mengikuti langkahnya. Itu adalah makan bersamaku yang terakhir bersama keluarga sebelum melangkahkan kaki menuju tempat masih yang sangat gelap bagiku. Dan merupakan ilham cahaya menurut bayang-bayang tadi, dimana aku akan dapat menyinari banyak kegelapan dari sinar cahaya tadi.
                Sebuah hal yang sulit dipercaya namun nyata, akhirnya aku mengikuti kemana bayang-bayang tadi melangkah. Sedikit waktu perpisahan diberikannya kepadaku untuk aku pamit dengan orang-orang yang menggoreskan pengalaman dan dirinya di hidupku. Keluarga dan teman sebayaku, orang-orang yang kutemukan setiap harinya, di sekolah, di rumah, di jalan, dan di mana saja. Terasa sangat kurang waktu untuk mengucapkan perpisahan dan berpamitan kepada mreka. tapi apalah daya, bayangan itu kemudian memaksa kakiku untuk melangkah mengikutinya. Mengikuti langkah anggun dengan sepatunya yang tidak terlalu tinggi, pakaian nya yang bertiup di sentuh angin ketika itu, serta sorotan matanya yang penuh keyakinan bahwa aku akan baik-baik saja di tempat baru nanti.Sorotan yang sama persis dengan sorotan mata kedua orang tuaku walau mereka memandang dengan lelehan air mata dan nafas yang sedikit tertahan.
                Kini aku mulai melangkah mninggalkan mereka semua, meninggalkan orang yang aku sayangi, meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan pengalamanku, dan meninggalkan semua kenangan yang pernah aku lakukan. Bayangan itu merangkulku, meyakinkanku untuk terus melangkah dan tidak melihat lagi ke belakang. Tidak melihat mereka yang sedang melepasku dengan mata sembap, walau dengan sebuah keyakinan bahwa inilah yang terbaik.
                Aku tidak di izinkan lagi untuk melihat kebelakang, walaupun hanya untuk melemparkan sebuah senyum yang menandakan bahwa aku akan kuat dan tahan di tempat baru nanti. Bayangan tadi merangkulku dengan sangat erat sehingga aku hanya bisa melangkah ke depan dan menatap apa yang ada di depanku saat ini. tidak bisa untuk menoleh kiri dan kanan, apalagi untuk menoleh kebelakang, walau hanya untuk memberikan sebuah senyum perpisahan yang bersifat sementara.
                Rangkulannya semakin erat, seolah semakin meyakinkanku bahwa aku melangkah pada hal yang tepat. Meyakinkan akan debaran yang tidak karuan yang aku rasakan sejak tadi malam hanyalah bunga perjuangan layaknya bunga mimpi. Seolah dia mengetahui apa yang aku rasakan. Kegalauan yang sedang berkecamuk dibatinku seakan menjadi tanggung jawab baginya. Dia berusaha untuk menghilangkan itu semua dan meyakinkanku untuk terus melangkah.


                Banyak kendaraan yang aku naiki untuk bisa sampai di tempat yang aku tuju. Dan tidak sedetikpun, bayangan putih tadi meninggalkanku, termasuk ketika aku tidur, dia menemaniku dengan setia. Seakan aku berada di dalam pelukannya yang sangat meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Dekapan mesranya yang selalu memberikan semangat, dan sorotan mata penuh keyakinan yang ia berikan, membuat aku mulai menyadari semua yang baru saja terjadi adalah hal yang terbaik.
                Malam ini, aku berada dalam sbuah kereta, pukul 23.40. saat itu aku terbangun dari tidurku yang entah karena kelelahan perjalanan atau karena lelah mengingat semua kenangan yang baru saja aku tinggalkan. Sebuah senyum terasa hadir menyapa saat aku membuka mata. Senyuman yang lebih bersemangat karena aku sempat membalasnya walau hanya sekejab. Sorotan matanya yang anggun berubah menjadi sebuah kerdipan mata yang penuh arti. Membuat aku menjadi lebih bersemangat menikmati perjalanan yang kurang lebih menyisakan waktu 8-9 jam lagi. Angin malam yang sejuk dan dingin menemaniku untuk segera sampai di tujuan. Rangkulan dan pelukannya menemaniku disaat2 dingin yang menusuk itu sebelum sebuah nada melepaskannya.
                Handphone ku bordering, tidak untuk nada telepon, lagi pula tidak ada yang akan menelpon tengah malam seperti ini. sebuah sms dari orang yang sangat aku kenal. Dan ucapan selamat hari ulang tahun dengan berbagai ucapan doa dan harapan ia berikan untukku. Aku tersenyum. Membalasnya, kemudian menunggu untuk beberapa saat balasannya datang lagi. Malam itu aku punya kesibukan ketika mataku tidak bisa lagi dipejamkan hingga pagi menjelang. Sekilat aku melihat, banyangan putih tadi masih setia menemaniku walupun kini aku mulai sibuk dan tidak menghiraukannya lagi. senyumnya yang penuh makna adalah balasan yang ia berikan saat aku menatapnya. Senyum yang sangat sulit untuk ku artikan ketika itu.
                Waktu Sembilan jam berakhir. Aku turun, menginjakkan kaki di tanah jawa. Sebuah bisikan berdengung di telingaku. “Inilah tempatmu sekarang, inilah yang akan memberikanmu pengalaman berharga. Ini lah tempat yang akan menjadi rumah kedua mu. Dan inilah hidupmu sekarang. Selamat datang di kota Malang”. Aku hanya tersenyum dan melangkah mengikutinya menuju keluar stasiun, dan bengong untuk beberapa saat.
                Sebuah tangan menepuk pundakku dan kembali kata yang tadi aku dengar, “selamat datang di kota Malang”. Suara itu benar-benar aku kenal. Bahkan terkadang sudah muak untuk mendengarnya.. menjabat tanganku mengucapkan sesuatu yang untuk kali ini hanya dari dia bisa kudapat. Dialah satu-satunya orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku secara langsung. Karena memang hanya dialah yang aku kenal di sini, perjuangan kami semasa SMA akan kembali berlanjut walau kini hanya berdua, tidak lagi 9 orang seperti ketika SMA dulu. Dia mengambil barang-barangku, membawakannya keluar dari pintu satasiun. Melangkah di depanku, dan aku mengikutinya dari belakang.
                Aku seakan lupa pada sesuatu yang menemani dan menguatkanku untuk sampai di kota fanatic sepakbola ini. tepat di depan pintu stasiun, dengungan di telingaku kembali berbunyi, seolah seorang sedang berbisik, “tugasku sudah selesai, lanjutkan perjuanganmu, dan secepatnya kita akan bertemu lagi”.
                Aku sadar akan bayangan yang selama ini menemaniku, yang selalu setia mengawal dan memberikan semangat untukku. Aku menoleh ke samping, dan dia mulai menjauh. Senyumnya seakan memintaku untuk segera mencarinya. Tanpa ada sesuatu yang memudahkanku untuk menemukannya di tengah keramaian dan kesibukan ini kecuali senyum itu. senyum yang benar-benar berbeda dari yang lainnya. Dia menghilang begitu saja dengan senyum indah yang mempesona, tanpa aku sempat membalas ucapannya.
                Dia menyadarkankanku, bahwa perjuanganku dimulai dari sekarang. Tepat di hari ketika aku dilahirkan ke dunia. Dan untukmu yang menemaniku, yakinlah aku pasti akan menemukanmu dan membawamu kembali ke tempat dimana kamu pertama kali merangkulku dan mengajakku melangkahkan kaki hingga sampai ke tempat sejauh ini.


                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar