Paling
tidak aku tahu sekarang, dia adalah anak Malang asli. Entah asalnya memang
benar-benar dari Malang sejak dulu atau hanya sebagai perantau yang singgah di
kota pendidikan dan pariwisata ini. Yang aku tahu hanyalah, dia sebelumnya
adalah lulusan dari salah satu SMA di kota ini. Yang letaknya entah dimana
tidak aku ketahui. Mungkin sedikit jauh, karena aku sudah sering berkeliling di
sekitar tempat aku tinggal dan kampus, tidak pernah aku lihat papan yang
menunjukkan bahwa di sana terdapat bangunan yang menjadi bekas tempatnya
menuntut ilmu. Mungkin agak berada di bagian tepi, karena brawijaya sendiri
terdapat di tengah-tengah kota, dan di kisaran tersebut tak pernah aku melihat
bangunan bertuliskan SMA Negeri %-) Malang.
Mengetahui
hal ini, semakin menambah semangat dan dorongan ku untuk mengenal si manis itu.
Kulit putih dan hidung mancungnya sangat mempesona apalagi di tambah sebuah
senyum yang anggun disertai sorotan mata yang elegan.
Rencana
awal yang aku tulis sebelum menginjakkan kaki di sini sepertinya mulai
mendapatkan pintu untuk melanjutkannya. Ketika itu, tepat sehari sebelum
berangkat, di tengah dinginnya malam pada hari ke 7 bulan Ramadhan, sebuah
bayangan seorang dengan memakai pakaian putih hadir di awang-awang kamarku dan
membuat aku tertegun dan fokus ke sana berapa saat. Sebuah pencerahan datang,
ketika sebuah kebimbangan masih menghantui akan pilihan dan langkah besar yang
akan aku lakukan beberapa saat lagi. ini adalah hari terakhir aku memandangi
langit-langit kamar untuk satu tahun ke depan. Dan aku akan pergi meninggalkan
tanah kelahiranku, mengikuti jejak pendahulu-pendahuluku yang sudah menjadi
kultur dan keharusan, mengikuti pepatah minang yang tidak bertentangan dengan
syariat, melangkahkan kaki keluar dari tanah kelahiran, menuju perantauan yang
masih gelap, entah bagaimana adat istiadat dan gaya hidupnya orang-orang di
sana.
Semua
berkecamuk dalam benak, apa aku memang harus melakukan seperti
generasi-generasi sebelum kami bertitah, “ketek di kampuang, gadang di rantau”.
Ya, itulah yang di pegang pemuda minang sampai sekarang. Harus meninggalkan
kampung halaman, harus meninggalkan orang-orang yang di sayang, harus
meninggalkan semua kenangan yang pernah diukir. Dan sesuatu yang sangat berat
untuk dilakukan. Melelehkan air mata tanpa sadar ketika dalam pertimbangan ini.
Tetapi,
bayang-bayang putih di awang-awang tadi, memberikan sedikit inspirasi yang
tidak bersebrangan dengan hal-hal yang dititahkan para leluhur. Pergilah
merantau, dan akan ada hal baru yang akan ditemukan disana. Pengalaman baru
yang akan di dapat yang tidak ada jika hanya berdiam diri di kampung halaman.
Bayang-bayang
itu seperti berkata, inilah yang harus aku lakukan. Ini adalah malam terakhir
untuk satu tahun ke depan. Ini adalah sebuah perpisahan sementara. Dan air mata
yang mengalir dari orang-orang yang menyayangiku esok hari, adalah awal dari
sebuah kebahagiaan yang akan aku antarkan ketika pulang nanti.
Dan aku
terlelap dalam beberapa saat bersama bayangan putih yang menemaniku. Seperti
memastikan bahwa ketika bangun esok hari, aku tidak berubah pikiran. Aku akan
mengikutinya ke tempat yang tidak aku kenal. Dia menemaniku dalam tidur yang
penuh dengan lelehan air mata yang dijanjikannya adalah awal dari sebuah
kebahagiaan yang menanti, ketika aku pulang kelak.
Mata
sembabku sulit untuk dibuka ketika ada suara panggilan dari luar kamar untuk
bangun. Enggan rasanya karena sudah sangat nyaman. Tidak ingin aku bercerai
dengan dipan tua yang menjadi alas tidurku selama 18 tahun ini. Namun
lagi-lagi, bayangan tadi hadir kembali disaat mataku belum terbuka sepenuhnya.
Memberikan semangat dan sebuah pengharapan. Dan mengingatkan bahwa ini adalah
sahur terakhirku di sini dan kembali untuk satu tahun ke depan. Seakan selalu
membayangi agar aku mengikuti langkahnya. Itu adalah makan bersamaku yang
terakhir bersama keluarga sebelum melangkahkan kaki menuju tempat masih yang
sangat gelap bagiku. Dan merupakan ilham cahaya menurut bayang-bayang tadi,
dimana aku akan dapat menyinari banyak kegelapan dari sinar cahaya tadi.
Sebuah
hal yang sulit dipercaya namun nyata, akhirnya aku mengikuti kemana
bayang-bayang tadi melangkah. Sedikit waktu perpisahan diberikannya kepadaku
untuk aku pamit dengan orang-orang yang menggoreskan pengalaman dan dirinya di
hidupku. Keluarga dan teman sebayaku, orang-orang yang kutemukan setiap
harinya, di sekolah, di rumah, di jalan, dan di mana saja. Terasa sangat kurang
waktu untuk mengucapkan perpisahan dan berpamitan kepada mreka. tapi apalah
daya, bayangan itu kemudian memaksa kakiku untuk melangkah mengikutinya.
Mengikuti langkah anggun dengan sepatunya yang tidak terlalu tinggi, pakaian
nya yang bertiup di sentuh angin ketika itu, serta sorotan matanya yang penuh
keyakinan bahwa aku akan baik-baik saja di tempat baru nanti.Sorotan yang sama
persis dengan sorotan mata kedua orang tuaku walau mereka memandang dengan
lelehan air mata dan nafas yang sedikit tertahan.
Kini
aku mulai melangkah mninggalkan mereka semua, meninggalkan orang yang aku sayangi,
meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan pengalamanku, dan meninggalkan semua
kenangan yang pernah aku lakukan. Bayangan itu merangkulku, meyakinkanku untuk
terus melangkah dan tidak melihat lagi ke belakang. Tidak melihat mereka yang
sedang melepasku dengan mata sembap, walau dengan sebuah keyakinan bahwa inilah
yang terbaik.
Aku
tidak di izinkan lagi untuk melihat kebelakang, walaupun hanya untuk
melemparkan sebuah senyum yang menandakan bahwa aku akan kuat dan tahan di
tempat baru nanti. Bayangan tadi merangkulku dengan sangat erat sehingga aku
hanya bisa melangkah ke depan dan menatap apa yang ada di depanku saat ini.
tidak bisa untuk menoleh kiri dan kanan, apalagi untuk menoleh kebelakang,
walau hanya untuk memberikan sebuah senyum perpisahan yang bersifat sementara.
Rangkulannya
semakin erat, seolah semakin meyakinkanku bahwa aku melangkah pada hal yang
tepat. Meyakinkan akan debaran yang tidak karuan yang aku rasakan sejak tadi
malam hanyalah bunga perjuangan layaknya bunga mimpi. Seolah dia mengetahui apa
yang aku rasakan. Kegalauan yang sedang berkecamuk dibatinku seakan menjadi
tanggung jawab baginya. Dia berusaha untuk menghilangkan itu semua dan
meyakinkanku untuk terus melangkah.
Banyak
kendaraan yang aku naiki untuk bisa sampai di tempat yang aku tuju. Dan tidak
sedetikpun, bayangan putih tadi meninggalkanku, termasuk ketika aku tidur, dia
menemaniku dengan setia. Seakan aku berada di dalam pelukannya yang sangat
meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja. Dekapan mesranya yang selalu
memberikan semangat, dan sorotan mata penuh keyakinan yang ia berikan, membuat
aku mulai menyadari semua yang baru saja terjadi adalah hal yang terbaik.
Malam
ini, aku berada dalam sbuah kereta, pukul 23.40. saat itu aku terbangun dari
tidurku yang entah karena kelelahan perjalanan atau karena lelah mengingat
semua kenangan yang baru saja aku tinggalkan. Sebuah senyum terasa hadir
menyapa saat aku membuka mata. Senyuman yang lebih bersemangat karena aku
sempat membalasnya walau hanya sekejab. Sorotan matanya yang anggun berubah
menjadi sebuah kerdipan mata yang penuh arti. Membuat aku menjadi lebih
bersemangat menikmati perjalanan yang kurang lebih menyisakan waktu 8-9 jam
lagi. Angin malam yang sejuk dan dingin menemaniku untuk segera sampai di
tujuan. Rangkulan dan pelukannya menemaniku disaat2 dingin yang menusuk itu
sebelum sebuah nada melepaskannya.
Handphone
ku bordering, tidak untuk nada telepon, lagi pula tidak ada yang akan menelpon
tengah malam seperti ini. sebuah sms dari orang yang sangat aku kenal. Dan
ucapan selamat hari ulang tahun dengan berbagai ucapan doa dan harapan ia
berikan untukku. Aku tersenyum. Membalasnya, kemudian menunggu untuk beberapa
saat balasannya datang lagi. Malam itu aku punya kesibukan ketika mataku tidak
bisa lagi dipejamkan hingga pagi menjelang. Sekilat aku melihat, banyangan
putih tadi masih setia menemaniku walupun kini aku mulai sibuk dan tidak
menghiraukannya lagi. senyumnya yang penuh makna adalah balasan yang ia berikan
saat aku menatapnya. Senyum yang sangat sulit untuk ku artikan ketika itu.
Waktu
Sembilan jam berakhir. Aku turun, menginjakkan kaki di tanah jawa. Sebuah
bisikan berdengung di telingaku. “Inilah tempatmu sekarang, inilah yang akan
memberikanmu pengalaman berharga. Ini lah tempat yang akan menjadi rumah kedua
mu. Dan inilah hidupmu sekarang. Selamat datang di kota Malang”. Aku hanya
tersenyum dan melangkah mengikutinya menuju keluar stasiun, dan bengong untuk
beberapa saat.
Sebuah
tangan menepuk pundakku dan kembali kata yang tadi aku dengar, “selamat datang
di kota Malang”. Suara itu benar-benar aku kenal. Bahkan terkadang sudah muak
untuk mendengarnya.. menjabat tanganku mengucapkan sesuatu yang untuk kali ini
hanya dari dia bisa kudapat. Dialah satu-satunya orang yang mengucapkan selamat
ulang tahun kepadaku secara langsung. Karena memang hanya dialah yang aku kenal
di sini, perjuangan kami semasa SMA akan kembali berlanjut walau kini hanya
berdua, tidak lagi 9 orang seperti ketika SMA dulu. Dia mengambil
barang-barangku, membawakannya keluar dari pintu satasiun. Melangkah di depanku,
dan aku mengikutinya dari belakang.
Aku
seakan lupa pada sesuatu yang menemani dan menguatkanku untuk sampai di kota
fanatic sepakbola ini. tepat di depan pintu stasiun, dengungan di telingaku kembali
berbunyi, seolah seorang sedang berbisik, “tugasku sudah selesai, lanjutkan
perjuanganmu, dan secepatnya kita akan bertemu lagi”.
Aku
sadar akan bayangan yang selama ini menemaniku, yang selalu setia mengawal dan
memberikan semangat untukku. Aku menoleh ke samping, dan dia mulai menjauh.
Senyumnya seakan memintaku untuk segera mencarinya. Tanpa ada sesuatu yang
memudahkanku untuk menemukannya di tengah keramaian dan kesibukan ini kecuali
senyum itu. senyum yang benar-benar berbeda dari yang lainnya. Dia menghilang
begitu saja dengan senyum indah yang mempesona, tanpa aku sempat membalas
ucapannya.
Dia
menyadarkankanku, bahwa perjuanganku dimulai dari sekarang. Tepat di hari
ketika aku dilahirkan ke dunia. Dan untukmu yang menemaniku, yakinlah aku pasti
akan menemukanmu dan membawamu kembali ke tempat dimana kamu pertama kali
merangkulku dan mengajakku melangkahkan kaki hingga sampai ke tempat sejauh
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar