Aku melihat lagi chat beberapa hari yang lalu, mengulang membacanya dari awal sampai akhir untuk meningkatkan motivasi. Ya, aku kehabisan akal bagaimana caranya supaya bisa melewati semester tua yang masih belum nampak akhirnya ini. Sebagian temanku sudah tidak lagi terlihat wujudnya mondar mandir di kampus. Tinggal aku dan beberapa orang saja. Semakin hari semakin muak melihat tulisan yang tiada habis revisinya, setiap kali konsultasi, setiap itu pula ada revisi yang harus dikerjakan. Lalu itu membuatku berpikir, apa yang sebenarnya salah dengan caraku di semester akhir ini? Mengapa terlalu susah rasanya? Aku tidak minta agar semester terakhirku ini berjalan lebih mudah, tetapi aku berdoa kepada Tuhan supaya lebih dikuatkan, supaya lebih disabarkan dalam menghadapi semester ini. Beratnya perjuangan akan menjadi modal tersendiri untukku kelak menghadapi situasi yang mungkin lebih buruk dari pada sekedar menyelesaikan tugas akhir
Malam itu aku dilanda kebingungan. Sumpek dan pusing kepala terasa, dada juga sesak tidak karuan. Tidak ada hal menyenangkan yang rasanya bisa dikerjakan. Menulis? Sudah tidak ada ide lagi untuk membuat tulisan. Mengerjakan revisi sambil berdoa bahwa ini adalah yang terakhir? Sudah kucoba, tetapi keinginan itu sendiri yang sedang tidak ada mau diapakan lagi, tidak bisa dipaksakan. Dipaksakanpun akan percuma, hasil yang akan didapat sudah jelas, adalah revisi lagi, lagi, dan lagi.
Apa dan bagaimanapun suasana hati, tidak dapat dipungkiri gadget adalah pilihan terbaik untuk mengalihkan perhatian maupun kesibukan. Gadget adalah hiburan paling sederhana namun efektif di milenium ini. Gadget adalah mood booster, gadget adalah kawan setia (kecuali ketika baterai lemah, tapi tidak ada charger atau colokan). Siapa zaman sekarang ini yang tahan tidak memegang gadget selama seharian penuh? Tidak ada.
Kembali ke topik, tentang chat yang sudah berlalu beberapa waktu yang lalu. Tidak panjang, namun ada secuil motivasi di dalamnya, sayangnya masih terlalu kecil untuk membungkam rasa malasku mengerjakan revisi. Ingin lagi aku melanjutkan chat itu. Jika gayung bersambut maka dia yang aku hubungi akan membalasnya, jika tidak, ya mungkin aku belum beruntung.
Pertama kulihat jam, pukul 00.58 tertulis di arloji yang sudah kulepas semenjak beberapa jam yang lalu. Perbedaan waktu Malang dan Edmonton sekitar 13 jam. Artinya di sana sekarang sekitar pukul 2 siang. Sejenak aku berpikir, tepatkah waktunya untuk menghubungi. Kupertimbangkan dan akhirnya tidak ada alasan kuat yang membenarkan untuk mengurungkan niat.
"Selamat siang waktu Edmonton Mbak. Jika Mbak tidak sibuk, saya masih ingin bertanya tentang beberapa hal, bisa Mbak?"
Sopan sekali khas orang Indonesia. Yang kuhubungi adalah Orang Indonesia yang sudah sejak beberapa tahun lalu tinggal di Edmonton. Dan aku tidak berharap chatku akan dibalas dalam waktu cepat. Aku berpikiran bahwa kehidupan di negara maju sana berbeda sekali dengan kehidupan di sini. Di sini fungsi gadget sama dengan organ penting tubuh layaknya jantung, lambung, hati, hingga paru-paru. Tanpa gadget rasanya tidak hidup. Tapi di sana? Dari banyak sumber aku menyimpulkan bahwa mereka di negara dunia pertama sana menggunakan apapun termasuk gadget sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya. You know lah apa yang aku maksud. Hari-hari mereka di sana tidak selalu diisi dengan gadget di tangan.
"Hai hai. Selamat tengah malam waktu Indonesia. Kalau aku bisa jawab kenapa nggak?"
Balasan chat ternyata muncul hanya beberapa menit setelah aku berpikir chatku itu akan diabaikan untuk beberapa hari ke depan, atau bahkan diabaikan sama sekali.
"Cuma mau nanya aja Mbak, bedanya cara belajar di sana sama di sini gimana? Rada gak penting sih. So, kalau sibuk atau gak tertarik gak usah dijawab Mbak."
Aku berani menulis demikian karena kami pada dasarnya tidak saling kenal. Lagi pula kecil sekali kemungkinan kami akan bertemu, jadi ini tidak akan membuat masalah atau kerepotan.
3 menit kemudian muncul notifikasi balasan di layar gadgetku.
"Beda lumayan jauh sih menurutku. Di sini mereka sendiri yang punya keinginan tinggi, beda sama di sana yang kebanyakan belajar adalah untuk memenuhi target nilai, bukan karena bener-bener ingin tau. Padahal sebenernya jika keinginan belajar itu emang karena ingin tau dan paham, target nilai itu bakal kecapai dengan sendirinya."
Cukup panjang jawabannya atas pertanyaanku yang pendek dan itu membuatku senang. Ternyata tidak semua orang kaya itu sombong. Ya, aku tahu dia dari keluarga sangat berada dari foto-foto dan instastory yang dia upload di akun instagram tempat kami mengobrol. Masih ada orang-orang dari keluarga kelas elit yang mau meladeni pertanyaan-pertanyaan dari orang kelas ecek-ecek sepertiku, tidak kenal pula. Overall, aku senang tidak terkira.
"Oh, beda persepsi ya. Kalau Mbak liat di sana, susah gak sih orang Indonesia yang ngelanjutin kuliah di sana buat beradaptasi sama cara orang-orang di sana?"
"Kurang lebihnya gitu, beda persepsi. Kalau secara teknis nggak juga sih, nggak begitu keliatan. Soalnya kalau mahasiswa lanjutan kan biasanya emang orang-orang yang udah keseleksi. Ibaratnya bibit-bibit unggul lah ya. Paling di bulan-bulan awal aja mereka yang agak keteteran, abis itu, its okey."
"Hmm, sip deh, masih ada peluang ya kalau gitu, mahasiswa biasa kayak aku buat lanjut di sana."
"Semua punya peluang, tinggal mau dimanfaatin apa nggak peluangnya itu."
"Hehe, iya sih Mbak. Oke deh kalau gitu, makasih infonya Mbak, mungkin nanti ada pertanyaan lagi, yang lebih berbobot dari pada pertanyaan sebelum-sebelumnya."
"Sip kalau aku bisa ya aku jawab. kita kan hampir seumuran, so slowly. Btw, aku juga mau nanya. Kamu ngapain jam segini, its midnight."
"Biasalah Mbak. Mahasiswa semester akhir."
"Owh sip. Semangat. Semoga bisa sampai ke sini ya. Kabari kalau kamu kesampaian ke Edmonton."
"Amin, Thanks so much Mbak."
Aku akhirnya tertidur sejam kemudian dengan ekspresi senyum yang sangat puas. Revisiku memang belum dikerjakan, tapi ketika besok pagi terbangun, aku sudah siap berperang dan memastikan bahwa ini adalah revisi terakhir yang kukerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar