Theresia.
Tiba-tiba nama itu muncul dalam kepalaku kala aku terbangun di panasnya udara
malam yang datang tiba-tiba. Tidak seperti biasanya udara selalu dingin dan
mengharuskan tubuh untuk diselimuti. Oh, apa kabarnya dia sekarang? Apa yang
dilakukannya? Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Sejak jalan bersama malam
itu, pertama dan terakhir, sama sekali aku belum pernah bertemu dengannya.
Beberapa hari setelahnya memang masih ada kabar, setelah itu langsung lost
kontak hingga sekarang.
Aku
berkenalan dengan Rara (Panggilanku kepada Theresia) dulu ketika baru sampai di
Kota Malang. Tidak jauh setelah memasuki gerbang kampus Universitas Brawijaya
ketika itu, dia duduk bersama seorang yang ku kenal. Aku sedang berjalan
bersama sahabatku Vian.
“Randi”
Seseorang memanggilku.
Aku
berhenti, melihat sekeliling. Seperti ada seseorang yang memanggil namaku.
Benar saja, ternyata diseberang sana. Dia melambaikan tangan. Aku balas
lambaiannya, lalu mengajak Vian menyeberang.
“Hey,
lagi ngapain Rin?” Sapaku.
Namanya
Aderin. Dia adalah teman sesama Padang yang aku kenal ketika tak sengaja
bertemu saat main di gedung rektorat beberapa minggu sebelumnya.
Aderin
menyalamiku.
“Abis
nuker almamater. Temenku dapetnya kekecilan. Lama gak ketemu Ran, kemana aja?”
“Gak
kemana-mana. Di kost aja sambil ngurus persiapan ospek. Eh rin, kenalin temenku
Vian, padang juga”
Aku
memperkenalkan Vian pada Aderin. Mereka berjabat tangan.
“Oh
ya, ini temenku Theresia” Aderin balik memperkenalkan temannya.
Bergantian
aku dan Vian menjabat tangan Theresia.
“Padang
juga?” Aku bertanya.
“Bukan,
aku asli Malang” jawabnya.
Aku
tersenyum. Kemudian seseorang memanggil Aderin dan Theresia dari mobil Sedan
yang parkir tidak jauh dari tempat kami bertemu.
Reflex,
kami semua melongo ke arah mobil. Theresia yang sedang duduk lalu bangkit dan
menuju sumber suara. Sementara Aderin tetap menemaniku dan Vian berbincang
sebentar.
“Kamu
Cluster berapa Ran? Aderin bertanya.
“9,
kamu ?” Aku balik bertanya.
“8,
kalau kamu?” Aderin memindahkan sorot matanya pada Vian.
“13”
Vian yang dari awal sering diam hanya menjawab sesuai pertanyaan yang diajukan.
“Ra,
ini temenku cluster 9 juga” Aderin memanggil Theresia yang urusannya sudah
selesai dengan seseorang di dalam mobil.
“Iya?
Kalau gitu ntar bareng aja ya” Theresia memberikan sebuah ajakan padaku.
“Boleh”
Aku mengiyakan.
Aku
dan Theresia bertukar nomor Handphone sebelum berpisah. Sementara Vian hanya
diam tidak bicara di sampingku.
“Rin,
Ra. Aku duluannya” Aku pamit dan mengajak Vian berlalu.
“Eh,
mau kemana?” Aderin bertanya.
“Ke
Matos” jawabku yang sudah menjauh beberapa langkah.
Kami
terus menyusuri jalan kampus. Jalan terdekat menuju Matos. Satu dari Dua Mall
besar yang berdiri di atas tanah Malang.
“Udah
dapet temen baru nih. Cantik Ran” Vian mulai angkat bicara setelah
memperkirakan suaranya tak terdengar lagi oleh dua orang yang baru saja kami
temui.
Aku
hanya bersungut-sungut saja. Kami terus melangkah. Sementara Sedan hitam tadi
telah menghilang berikut dengan dua perempuan yang tadi aku dan Vian temui.
Meski
saat itu dingin masih menyelimuti kota malang sebagai bentuk ucapan selamat
datangnya pada mahasiswa baru, tetap saja sinar mentari siang itu sangat terik.
Aku dan Vian memutuskan untuk berlama-lama di Matos. Baru pulang setelah cahaya
matahari mulai redup di ufuk Barat.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Satu
Cluster bukan berarti aku dapat menemui Theresia dengan mudah. Lautan manusia
dengan pakaian serba putih membuat mata sulit untuk menemukan seseorang.
Satu-satunya ciri Theresia yang bisa ku kenal adalah dia tidak memakai kerudung
dan rambutnya sedikit ikal. Bahkan selama sebelas jam menjalani OSPEK hari
pertama aku tak melihat batang hidungnya. Janji untuk bersama saat OSPEK lenyap
begitu saja terinjak-injak lautan manusia tak dikenal.
“Ternyata
susah juga ya, nemuin kamu Ran. Yang cowok botak semua, apalagi pas kita ketemu
rambutmu masih gondrong, makin susah jadinya”
Sebuah
sms dilayangkan Theresia kepadaku malam hari setelah ospek yang melelahkan itu selesai.
“Iya
Ra, cewek yang gak kerudungan juga banyak, rambutnya dikepang dua semua.”
Malam
itu aku dan Theresia berbalas sms hingga larut. Ucapan Selamat Datang di Malang
dari Theresia menutup percakapan kami sebelum akhirnya benar-benar ku akhiri
dengan ucapan ‘selamat malam’.
Waktu
terus berlalu. Fakultas yang berbeda dan jaraknya yang jauh dari ujung ke ujung
membuat Aku dan Theresia tidak lagi pernah bertemu.
Satu
bulan setelah itu, aku mencoba menghubungi Theresia. Cepat dia membalas. Untuk
beberapa hari kami selalu berhubungan, menanyakan kabar dan saling berbagi
cerita, tentang kuliah dan juga yang lainnya.
Suatu
malam Theresia mengajakku jalan. Tidak kemana-mana
memang. Hanya ke Willis. Pasar buku terbesar yang ada di Malang. Selain
Gramedia tentu saja. Jelas aku menaggapinya tanpa penolakan. Aku sudah pernah
berpikir akan hal ini. Ketika dalam perjalanan menuju Malang dulu, aku
membayangkan akan pergi berdua dengan seorang perempuan asli Malang. Malamini
dia mengajakku. Tentu tidak ada alasan untuk menolak. Dan kami janjian bertemu
besok malam jam 7.
Aku
melihat Theresia telah menunggu ketika aku keluar dari 292C. Setelannya baju
orange lengan pendek dan celana jeans karet warna hitam dengan jahitan warna orange.
Kakinya dialasi sepatu ballet hitam dengan sedikit bunga orange. Padu antara
atas dan bawah. Rambut ikalnya dibiarkan lepas. Tetapi di pergelangan kirinya
ada ikat rambut yang siap sedia jika dibutuhkan. Lalu dilehernya melingkar
sebuah kalung putih yang bersinar jika terkena cahaya.
“Udah
lama Ra?” Sapaku
“Nggak
kok, baru aja” jawabnya
“Kita
berangkat sekarang?” tanyaku
“Yuk”
Kami
pun hilang di antara lautan pengguna jalan. Aku sama sekali tak tahu jalan
ketika itu. Hanya hafal beberapa rute. Theresia mengajakku ke beberapa jalan
yang belum pernah kulalui. Lalu kami berhenti di dekat sebuah perempatan.
“Udah
pernah ke sini Ran?”
“Kalau
lewat sini sih udah”
“Bukan
jalannya. Itu lo”
Theresia
menunjuk sebuah tempat memanjang. Ribuan buku tertata rapi di sana. Ada
beberapa kios. Dan semuanya dipenuhi buku.
‘Pasar Buku
Willis’ itu tulisan yang sempat ku baca sebelum di ajak Theresia masuk.
Kami berkeliling
beberapa saat lamanya. Mungkin sekitar setengah jam. Theresia lalu membeli
sebuah kamus tebal dan sebuah buku pengantar Administrasi. Aku tidak membeli
apa-apa. Aku masih belum tahu buku-buku apa saja yang aku perlukan untuk
semester ini.
“kamu udah makan
Ran?” Theresia bertanya ketika kami keluar dari Pasar Buku Willis.
“Belum, kamu
udah?” Aku balik bertanya
“Sama” jawabnya
“Mau makan
sekarang?” Aku menawarkan sesuatu yang mungkin saja sudah ada dalam pikirannya.
“Ayuk” Terlihat
Theresia sangat bersemangat.
Aku dan Theresia
kembali berjalan mengelilingi kota yang jalannya tidak terlalu lebar.
“makan dimana
Ra?” Aku yang belum tahu apa-apa tentang Malang bertanya
“Kamu mau makan
apa?”
“Terserah, yang
agak khas Jawa gitu kalau bisa”
“ya udah yuk”
Theresia kemudian mengajakku melintasi perempatan, lalu belok kiri, terus lurus
entah kemana.
“jadinya mau
makan apa?” Aku yang saat itu mulai penasaran bertanya lagi.
“Udah pernah
nyoba lalapan yang enak?”
Aku berpikir
sejenak. Aku sudah beberapa kali makan lalapan. Tapi tidak tahu mana yang enak
mana yang tidak enaknya. Tidak ada standar yang menjelaskan lalapan tersebut
dikatakan enak dan tidak enak.
“Belum”
“Ntar di depan
belok kiri ya. 100 meter dari sana ada tulisannya kok. Berhenti disana aja” Theresia
memberi arahan kemana kami akan menuju.
“Sip mbak e” Aku
menirukan cara bicara Jawa yang medok.
Theresia
tertawa. Sepertinya menertawakan gaya bicaraku yang meniru logat Jawa. Ternyata
benar.
“Emang kamu udah
bisa Bahasa Jawa?” Theresia mencubit bahuku.
“Boro-boro. Gak
ngerti sama sekali malahan” Memasuki bulan kedua ku di Malang, aku memang masih
belum bisa berbahasa Jawa saat itu.
Kami berhenti di
tempat yang di tunjuk Theresia. Aku memesan lalapan ayam dan Theresia memesan
lalapan belut. Aku berdoa dengan menadahkan tangan sebelum mencicipi lalapan
yang katanya enak. Aku selesai lebih dulu. Tampak Theresia berdoa dengan cara
yang berbeda. Tak lama setelah itu kalung yang dipakai Theresia tak sengaja keluar
dari balik bajunya.
Tanda tambah,
tetapi bagian bawahnya lebih panjang. Baru aku paham bahwa dia seorang Nasrani.
Khatolik tampaknya. Sedikit aku ketahui perbedaan antara Kristen dan Khatolik
jika dilihat dari salib yang sering terkalung di leher mereka. Pernah
diceritakan temanku asal medan beberapa hari yang lalu. Lagipula mayoritas
penduduk Malang selain Muslim adalah Khatolik itu sendiri.
Theresia mulai
makan lebih dulu. Aku masih agak terkejut menyaksikan cara berdoanya barusan.
Baru kali ini aku jalan dan makan bersama dengan orang yang beda iman.
“Kenapa Ran?”
Theresia ternyata memperhatikanku yang belum makan
“Nggak” suapan
pertamaku lalu mendarat di mulut.
Terasa berbeda
apa yang kumakan sekarang dengan yang biasanya kumakan. Meski namanya sama-sama
lalapan, tetapi yang saat ini terasa lebih nikmat. Entah ada pengaruhnya dari
orang yang duduk di depanku, aku tidak tahu. Yang jelas lalapan yang kumakan
sekarang ini lebih enak dari biasanya.
Aku dan Theresia
makan sambil bercerita tentang apa saja. Tentang SMA, tentang mengapa aku bisa
sampai di Malang dan juga sempat dia ingin diajarkan Bahasa padang. Karena sama
sekali tak mengerti apa yang dia dengar saat dulu aku dan Aderin bicara dekat
gerbang kampus.
“Kamu suka
belut?” Theresia menawarkan makanannya padaku.
“Suka” jawabku
sambil mengambil beberapa potong belut goreng dari piringnya.
Kami bertukar
makanan sambil terus bercerita. Ditutup dengan menyeruput es teh karena
kepedasan. Satu-satunya yang tidak kami bahas malam itu adalah tentang
perbedaan agama yang aku dan Theresia anut.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Pukul Sembilan
malam ketika itu. Kami beranjak pulang setelah aku membayar tagihan makan kami.
Aku saat itu lupa jalan. Terus meluncur tanpa bertanya pada Theresia yang lebih
paham.
“Salah jalan
Randi !!” theresia setengah menjerit. Mengagetkanku yang tengah menikmati udara
Malam.
“Haa, iya?”
“Ya udah
gakpapa, ntar pas di lampu merah belok kiri ya” Theresia memberikan arahan.
Kami masuk ke
jalan-jalan kecil. Entah dimana saat itu, Theresia terus memberi komando.
Memasuki pertigaan, kemudian keluar dari perempatan lalu belok kiri. Aku merasa
ada yang aneh. Tidak seperti di kota. Kami sepertinya memasuki perkampungan mati.
“Ini dimana Ra?”
Aku bertanya saat sama sekali tidak ada cahaya dari luar.
“Lurus aja terus
Ran”
Aku yang tidak
tahu apa-apa terpaksa mengikuti perintah Theresia yang gelagatnya mulai aneh.
Kami melewati kuburan. Jalan itu lebarnya tak lebih dari 2 meter. Kiri kanan
adalah hamparan kuburan yang sangat menakutkan.
“Ini dimana Ra?”
Aku kembali bertanya
Theresia tidak
menjawab. Tiba-tiba ia mendekapku dari belakang. Kepalanya bersembunyi dibalik
punggungku.
Aku kaget. Kami
tetap melaju dengan kecepatan yang sama. Sekitar satu kilometer kami melewati hamparan kuburan tanpa
berselisih atau bertemu dengan seorangpun. Theresia juga tidak bicara
sepatahpun. Barulah ketika kembali memasuki jalan besar yang banyak dilalui,
suaranya kembali terdengar.
Situasi
sepertinya mulai tenang.
“Maaf ya. Tadi
serem banget Ran, aku takut” Theresia kembali bicara setelah melepaskan
tangannya dari pinggangku.
“emangnya tadi
kenapa?”
“Kamu gak liat
tadi kita lewat kuburan, udah sepi, gelap, serem gak ketemu seorangpun”
Aku tertawa,
bukan karena ketakutan yang dirasakan Theresia, tetapi karena dia memelukku saat
ketakutan tadi.
“gak ada yang
lucu Randi” Theresia mencubitku.
“Iya-iya maaf”
kataku sambil tersenyum.
“ih. Kamu pasti
pengen lama-lama ya lewat jalan tadi. Keenakan dipeluk” Theresia tampaknya
mulai sadar apa yang membuatku tertawa.
“Bukan aku yang
mau lo ra, kamu yang mulai duluan
kan, ya aku bisa apa lagi coba”
Theresia
memelintir perutku. Tepat di samping pusar. Aku menjerit, lalu tertawa puas melihat
Theresia tak bisa berkata apa-apa. Malah dia juga akhirnya ikut-ikutan tertawa.
Mungkin merasa nyaman saat tadi memelukku dari belakang. Siapa tahu.
Malam itu kami
berpisah. Aku ke kampus terlebih dahulu dan Theresia langsung pulang.
“makasih ya Ran
udah nemenin”
“Sama-sama Ra”
“makasih juga
buat traktirannya”
Theresia
melambaikan tangannya. Aku tersenyum, membalas lambaiannya lalu hilang di gelap
malam yang semakin larut.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
Sejak itu tak
ada kabar lagi dari Theresia. Wanita asli Malang pertama yang ku kenal. Juga
wanita Khatolik pertama yang jalan dan makan bersama denganku. Kami lost kontak
hampir setahun lamanya. Sampai sekarang. Saat aku sudah kembali ke Sumatera
menghabiskan libur selama dua bulan. Salam rindu dari Pulau Andalas buat sobat
Malang yang sudah lama tak berjumpa :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar